Refleksi Raina Purnama Kenem, Menjaga “Taksu”, Merawat “Veb”, Tantangan dalam Revitalisasi Kebudayaan Bali
Hari ini, Minggu, 15 Desember 2024, nemu raina Purnama Kenem, Bulan Penuh di bulan Keenam dalam kalender Bali.
Bulan Penuh di sasih Kenem, dalam cuaca musim hujan, yang diselingi hujan deras, rasanya pantas melakukan refeksi “vulgar” terhadap tantangan yang dihadapi Bali kini.
Kekuatan Bali ada pada “Taksu” nya, yang merupakan kulminasi dari puncak prestasi dari masyarakat Bali, yang basis kebudayaannya adalah spirituslitas, yang terpancarkan dalam totalitas ethos kerjanya, pada semua sisi kehidupan: pertanian, perkebunan, relasi dengan alam, cara berkesenian dan berkebudayaan, yang merupakan refleksi sinergi hubungan: Manusia – Alam – Tuhan. “Taksu” ini mengalami kemerosotan, “pemudaran”, akibat dari, kehidupan yang serba benda, pendangkalan berpikir dan juga rasa, turunnya kualitas diri, termasuk sikap “nyapa jadi aku” dari mereka yang punya otoritas publik.
VEB, akronim dari Vibration, getaran rasa, hati, dari lingkungan Alam Bali, yang “diproduksikan” oleh karya-karya “metaksu” masyarakat Bali, memberikan impresi rasa: tenang, damai, dan bahkan suci, bagi mereka yang punya kesempatan “terberkati” untuk menikmati dan merasakannya. VEB, menjadi “obat” begitu penting, bagi insan manusia yang “didera” oleh: kejenuhan hidup, tidak lagi menemukan ketenangan di tengah kelimpahan materi, mereka yang bawah sadarnya diikuti rasa bersalah – guilty feeling -, akibat ketidak panutan yang dilakukannya. Ketidak-panutan yang bisa: merusak alam, mengambil hak orang-orang miskin, meminggirkan jutaan masyarakat adat dari tanah leluhurnya. VEB Bali yang sedang dipuja-puji, soal waktu saja akan terus mrmudar sejalan memudarnya “Taksu” Bali.
Merosotnya “Taksu” dab memudarnya VEB, merupakan PR (Pekerjaan Rumah) dalam Revitalisasi Kebudayaan Bali.
Revitalisasi yang berangkat dari prinsip dasar, menyebut beberapa,
Pertama, bak pribahasa: “Dimana bumi di pijak, di sana langit dijunjung”, mereka yang hidup dan dihidupkan Alam Bali (pertiwi=tanah, apah=uap air, bayu=angin, udara, teja=sinar matahari, akasa=ether), semestinya menghormati budaya Bali, bukan “menterpedonya”, sehingga bisa kehilangan sumber nafkah dan masa depan tinggal di Bali. Hiduplah dengan jujur dan tidak mendua di Pulau Dewata ini.
Kedua, pejabat publik yang merumuskan program Revitalisasi Kebudayaan, punya cukup kecerdasan dan keberanian secara politik, dengan bagian masyarakat di butir satu di atas. Melalui perumusan kebijakan, menyebut beberapa: pembatasan investasi yang punya potensi destruktif terhadap perkembangan kebudayaan, merusak alam, membuat masyarakat Bali penyangga Kebudayaan semakin terpinggirkan.
Ketiga, peningkatan kemampuan lobi ke tingkat nasional, membuat cetak biru dan peta jalan Bali Berbasis Kearifan Budaya Lokalnya, -local wisdom – tanpa “cawe-cawe” politik dan kepentingan “ersatz kapitalist” yang bisa meluluh-lantakkan Alam Bali, Manusia dan Kebudayaannya.
Jro Gde Sudibya, intelektual Bali, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.