Hari ini, Rabu, 12 Februari 2025, raina Pagerwesi nemu raina Purnama Kaulu, dalam realitas sosial dan trendnya yang sedang berlangsung, menarik menyimak relasi kekuasaan dengan spirituslitas. Bahkan dalam tradisi kekuasaan di Bumi Nusantara, spiritualitas, kekuatan spiritualitas adalah “focal point” yang menggerakkan kekuasaan itu sendiri.

Berangkat dari keyakinan, hanya pada orang-orang terberkati, kekuasaan dijalankan, waktu memihak mereka (dauh ayu), “pulung” (sinar energi diberikan) yang melahirkan kekuatan “taksu” untuk memimpin dan berkuasa. Tetapi kekuasaan “terberi” ini, bukan tanpa batas, dalam artian lingkup kuasa (scope of power), dan juga ada batasan waktu. Sehingga dikenal ungkapan yang sangat terkenal, kekuasaan adalah kesempatan emas untuk mengabdi, karena terbatasnya kesempatan dalam artian ruang dan waktu.
Dalam perenungan ini, menarik disimak nasehat Rsi Naradha, personifasi Tuhan Wisnu kepada Panca Pandawa, pasca Abimanyu gugur di medan perang Kurusetra.
“Suka muang duka, awasya wates iki, lawan pati urip”. Terjemahan bebasnya, suka dan duka ada batasnya, mesti diwaspadai batas-batas tsb., jangankan suka dan duka, kelahiran dan kematian itu akan datang.
Kekuasaan ada batasnya, “pulung” nya, “taksu” nya, sehingga diperlukan viveka (kecerdasan pembeda) dalam merawatnya.
Sasmita (tanda-tanda), kekuasaan yang kehilangan “pulung” dan “taksu”nya, “pulung yang sirna, kembali ke Alam Raya”, pertama, daya sihir kekuasaan mengalami kemerosotan, rakyat mulai sadar akan citra palsu yang selama ini berlangsung, dan kembali menggunakan akal sehatnya.

Kedua, orang-orang dekat yang menjadi penunjang kekuasaan sebelumnya mulai menjauh, dan bahkan mulai membuka aib kekuasaan masa lalu, membuka “kotak pandora” bagi mempercepat proses keruntuhan sisa-sisa kekuasaan masa lalu.

Ketiga, rangkaian proyek yang menjadi kebanggaan, yang “menyihir” sebagian rakyat, dan bawah sadarnya menganggap ” king can do not wrong”, dan bahkan menganggapnya setengah “dewa”, mulai ditinggalkan dengan sejuta alasan. Ketiga, sumber daya penopang kekuasaan, yang berasal dari “menggaruk” kekayaan alam, karena perubahan “Desa, Kala, Patra”, mengalihkan dukungannya ke penguasa baru, karena dinilai “pulung” telah sirna dari penguasa sebelumnya. Tata pikir yang sangat dikenal, familiar, dalam dinamika sejarah kekuasaan Bumi Nusantara.
Nilai-nilai lokal – indigenious values -, ini masih berlaku dan menjadi rujukan dalam relasi kuasa di Bumi Nusantara ini.
Rahajeng nyanggra raina Pagerwesi, semoga melalui “kepagehan” hati, spirit yang terberkati dalam rainan Pagerwesi ini, mampu “mengawal” dharma kehidupan dalam “putaran” 210 hari kehidupan ke depan.

Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.