Ilustrasi

Penulis :  Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.

Hari ini, Minggu, 2 Februari 2025, raina Kajeng Kliwon Molas Tali, upakara mentradisi melakukan pecaruan “Manut Desa, Kala, Patra”, untuk sederhananya “ngupahin” Bhuta, dalam relasi filsafat agama: Bhuta, Manusia, Dewa. Tersirat dalam upakara ydm.,”metegepan sareng ategepan pengkukatan”, proses pencucian diri, purifikasi diri, untuk mengendalikan Bhuta, spirit yang melingkupi Alam, yang untuk sebagian punya kualifikasi lebih rendah dari insan manusia (yang normal).

“Pengendalian” Bhuta, untuk sederhananya, memberikan kesempatan insan manusia memantapkan kualifikasi dirinya, untuk mengalami pendakian rokhani menuju kualifikasi Dewa, realitas Tuhan dalam diri: Aham Brahma Asmi, Atman Brahman Aikyam, Sat, Chit, Ananda, Ananda Maya Kosa, Samadhi. Sastra yang mudah diucapkan, tetapi tidak mudah direalisasikan, menjadi realisasi diri. Tantangan besar menghadang, dalam fenomena “agama” pasar, dimana nilai-nilai pasar: motif mencari laba, persaingan ekonomi, produktivitas, efisiensi, pelayanan bermotif untung, mendominasi dan bahkan menundukkan kehidupan. De facto, “agama” pasar ini mendominasi prilaku manusia. Konsekuensi alaminya: prilaku “memuja” benda dan kekuasaan, keterikatan, ketertundukan pada keinginan dan bahkan keserakahan, keinginan yang tidak dikendalikan tetapi dilipat-gandakan.

Akibatnya Sang Diri sekadar “budak” dari keinginan, keterikatan akan kesementaraan maya yang semakin mengendalikan yang berujung pada penderitaan. Dalam bahasa negarawan dan pejuang kemanusiaan India Mahatma Gandhi, limitless wants, slavery, misery. Keserakahan melahirkan “perbudakan” diri, dengan “hasil” akhir penderitaan.