Refleksi Raina Buda Wage Mrakih, Belajar Spirit Kepemimpinan dari Tepi Barat Danau Batur
Hari ini, Rabu, 13 November 2024, raina Buda Wage Mrakih, tiga hari menjelang Purnama Kelima, Icaka 1946. Dalam perspektif ekonomi politik nasional, peristiwa yang sedang menjadi sorotan publik.
Menyebut beberapa: sejumlah peternak susu rakyat di Jawa Tengah dan di Jawa Timur membuang ratusan ton susunya ke jalanan karena industri pengolahan susu menolak membeli susu peternak rakyat. Dan ironinya pemerintah membiarkannya.
Lima puluh ribu tenaga kerja di PT.Sritex Solo, perusahaan terbesar dalam industri tekstil, menunggu harap-harap cemas karena kemungkinan besar akan “dirumahkan” alias dipecat, karena keputusan pengadilan telah menetapkan perusahaan ybs.dalam posisi pailit, tidak lagi mampu membayar kewajiban hutangnya.
Daya beli masyarakat menengah ke bawah mengalami kemerosotan, standar kehidupan merosot, yang ditandai oleh deflasi 5 bulan berturut-turut, yang secara statistik menggambarkan tergerusnya daya beli masyarakat. Dalam konteks tantangan ini, pemimpin yang berempati pada rakyat, punya bela rasa, melalui tindakan berani yang terukur membela rakyat, menjadi sangat penting dan dibutuhkan.
Sebagai bahan refleksi raina Buda Wage Mrakih hari ini, dan menyongsong raina Purnama Kelima, tiga hari mendatang, kita bisa simak Prasasti tua Desa Buahan, Desa di Tepi Barat Danau Batur. Prasasti yang telah berusia lebih dari 1,000 tahun, diyakini sebagai ekspresi kekuatan Tuhan Wisnu yang “berstana” di “titik temu” Danau – Gunung Batur: “Sira Prabu, Kasah Iwan, Wisnu Murthi, Pengkweng, Dharma Anyar”.
Ditafsirkan secara bebas, tanpa mengurangi substansi maknanya, kepemimpinan mempersyaratkan, pertama, mampu memimpin diri sendiri, sebagai persyaratan dasar untuk bisa bisa memimpin orang lain dan kemudian memimpin masyarakat.
Kedua, mampu menjaga wilayah kesucian dari pusat – pusat kekuasaan, hanya dengan demikian kekuasaan yang memegang “dharma”nya akan “metaksu”. Ketiga, cerdik cendikia dalam memimpin, melalui kecerdasan viveka (pembeda) dari rwa-bhineda kehidupan.
Dengan cerdas bisa memilih dan memilih, kedualustikan hidup dan kehidupan itu sendiri. Ketiga, “pengkweng”, teguh hati dalam menata diri, tidak terjebak dalam tipu muslihat kekuasaan. Pageh, memperbarui Dharma di dalam diri -“Dharma Anyar”. Keempat, spirit kepemimpinan, motivasi dasar kepemimpinan, untuk memulyakan “kehendak” Tuhan Wisnu di dunia, “Wisnu Murthi”, memberikan kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat, memulyakan Alam dan menjaga keberlanjutannya.
Kualifikasi kepemimpinan tsb.di atas, menjadi semakin relevan untuk menata Bali ke depan, yang sekarang dihadapkan dengan tekanan: krisis moral kepemimpinan, rusaknya alam, semakin tergerusnya nilai-nilai budaya.
Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.