Refleksi Raina Buda Kliwon Pahang, Belajar Kehidupan dari Karya Sastra Sutasoma
Denpasar (Metrobali.com)-
Rabu, 30 Oktober 2024, “penanggal pengelong ping” 13, nuju Tilem Kapat, Icaka 1946, raina Buda Kliwon Pahang. Raina “penutup” aed upakara Galungan – Kuningan. Pasca raina ini, Penjor sebagai simbolik Giri Toh Langkir sumber kemakmuran, “dilebar”,dan manusia Bali kembali bekerja “normal” menurut “sesana” dan profesinya.
Raina, 35 hari pasca Galungan, rasanya menjadi tepat melakukan refleksi diri, dalam “deru campur debunya” kehidupan, dimana politik yang nyaris menjadi “panglima” kehidupan. Tidak seluruhnya buruk, bahkan menjadi mulya, jika politik dijalankan untuk kemuliaan kehidupan (political virtue).
Dalam konteks sosial yang sedang berlangsung, menjadi menarik disimak karya sastra Kakawin SUTASOMA, yang diterjemahkan oleh:Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo, yang diterbitkan Komunitas Bambu, 2019, sebagai rujukan dalam melakoni kehidupan. SUTASOMA, ditulis Mpu Tantular, sastrawan cum rohaniawan pada saat kejayaan kerajaan Majapahit, di abad ke 14. Karya sastra rohani yang berbasis keyakinan Ciwa – Budha, yang menjadi rujukan insan manusia dalam pendakian rohani: Kemuliaan – Kematian – Keabadian dalam proses meraih KESUNYATAN (kekosongan yang bermakna). Tuntunan pengetahuan rohani, yang tidak meawang-awang, tamsilnya “mengukir langit abstrak rohani” yang sia-sia, tetapi dalam bahasa ke kinian, memberikan tuntunan etis dan spirit tentang: kesabaran, kasih sayang,respek pada Alam Raya beserta seluruh penghuninya.
Mari Kita simak karya sastra SUTASOMA, Bab XXX, Sloka: 13, 14, dan 15 di bawah ini.
“Karena siapa yang melakukan pembunuhan berkali-kali, telah melakukan kejahatan yang besar. Mereka dibuang oleh dunia dan orang baik menjauhi mereka. Mereka jauh dari kebebasan, dan pada akhirnya mereka akan tersesat dan terbakar di alam neraka”.
Sloka 14: “Kamu akan tinggal di sana selama ribuan tahun. Disiksa oleh para pelayan Dewa Yama. Di sana kamu tidak hidup juga tidak mati, ditimpa penderitaan yang besar dan selalu susah di hati”.
Sloka 15: “Inilah yang terjadi pada mereka yang selalu membunuh. Raja dan Tamas tidak akan berkurang di hatimu, dan karena hal ini SATTWA (Kebajikan, sifat suci) akan tersingkir jauh-jauh dari hatimu, kamu akan terjatuh ke neraka AVICI (neraka penderitaan tanpa henti).
Tuntutan etis sebagai aturan rujukan prilaku yang sangat jelas, pembunuhan dalam konteks ke kinian tidak sekadar arti harafiah, bisa bermakna lebih luas “pembunuhan” karakter, nama baik dan kemuliaan manusia melalui prilaku yang tidak beradab. Tuntunan etis yang rasanya penting di zaman NOW, jaman EDAN (Re.Jangka Jayabaya).
Jro Gde Sudibya, Intelektual Hindu.