Refleksi Raina Anggarkasih Medangsia : Tantangan Kepemimpinan Bali ke Depan, yang Sehat bukan yang “Sakit”
Oleh Jro Gde Sudibya
Selasa, 19 Maret 2024, raina Anggarkasih Medangsia, sasih Kedasa Icaka 1946, puja wali ring pura: Goa Lawah “ring agneya”, Tenggara Pulau Bali, pemujaan Tuhan Maheswara dengan pengurip 8 dengan bijaksana Na.Pura Andakasa “ring daksina” Selatan Pulau Bali, pemujaan Tuhan Brahma pengurip 9, dengan bijaksara Ba.Pura Luur Uluwatu “ring neriti” Barat Daya Pulau Bali, dengan pengurip 3, dengan bijaksara Ma.
Dalam aed upacara piodalan di Tiga Kahyangan Jagat Bali, membentang dari Tenggara – Selatan – Barat Daya Bali, di menjelang Pilkada Serentak pemilihan pemimpin Bali, dari Gubernur, Bupati dan Wali Kota, 27 November 2024, sebagai bahan refleksi, Kita dapat merujuk “ujaran” tersurat dan tersirat dari raja Cri Kesari Warmadewa, pemimpin Bali pertama yang membangun Besakih.
“Ujaran” yang dimaksud dalam tafsir ke kinian, tentang Dharma kepemimpinan, menyebut beberapa, pertama, pemimpin adalah kesempatan mulia untuk menjabarkan kecerdasan, sekaligus basis pijakan menuju pendakian rohani (re, simbol larangan menebang pohon lontar ring sawewengkon Giri Toh Langkir).
Kedua, pemimpin mesti sehat, baca tidak sakit, dalam artian: cerdas merumuskan kebijakan dalam menjalankan Dharma kepemimpinan, memegang teguh etika dan moral, mengikuti aturan. Mereka yang tidak memenuhi kualifikasi ini, dalam pandangan sang raja tergolong “sakit”. Ketiga, taat asas dalam penegakan aturan terutama berkaitan dengan ruang alam kehidupan, dan pengenaan pajak (dalam konteks sekarang kebijakan fiskal yang bertanggung-jawab), Re, “bebawesan ring ajeng bale peselang” , pada dauh ayu pujawali ring Besakih.
Jro Gde Sudibya, salah seorang pendiri, dan sekretaris LSM Kuturan Dharma Budaya, yang mensosialisasikan warisan kebijakan Mpu Kuturan Raja Kertha tentang Desa Pakraman.