Refleksi Raina Anggarkasih Julungwangi : Iri Dengki, Kebencian dan Ketamakan, Bisa “Membakar” Manusia dan Relasi Manusia dan Kemudian Membakar Alam
Hari ini, Selasa, 8 April 2025, raina Anggarkasih Julungwangi, nemu sasih Kedasa, Icaka 1947, empat hari menjelang raina Purnama Kedasa Siddhi, lima belas hari menjelang HR.Galungan. Momentum baik untuk refleksi diri, koreksi diri “nyiksik bulu”, dalam “deru campur deru” nya, kehidupan di zaman edan, “orang yang tidak edan, tidak akan kebagian, tetapi sebaik-baiknya orang edan, lebih baik, orang yang sadar dan waspada”. Re, karya sastra sastrawan Jawa Ronggowarsito.
Iri Dengki, Kebencian, Ketamakan, yang distimulasi oleh kegagalan n
manusia dalam mengendalikan musuh-musuh besar dalam dirinya, melahirkan kegelapan Jiwa, prilaku yang “nungkalik”, berlawanan antara rujukan nilai dengan prilaku. Melahirkan ambivalensi, kemenduaan, kemunafikan kehidupan, sikap “nitya wacana”, lain dikatakan, lain pula yang dijalankan. Akumulasi dari sikap dan perbuatan ini, cepat atau lambat, akan menghasilkan: ketegangan diri, stres, depresi yang melahirkan penderitaan. Bisa berujung ke penghancuran diri, dan kemudian penghancuran sosial -social destruction-. Penghancuran sosial, yang bisa saja dimulai dari: pemimpin yang nir empati, tuna keteladanan, prilaku masyarakat yang “masa bodo” dengan mengabaikan tuntunan etika kehidupan, “tilar ring sesana”. Sikap hidup yang “aji mumpung”, “suryak siu”, “ajum-ajuman”, belog ajum”, “memuduh”, buduh-buduhan”.
Dalam sejarah Bali, penyakit sosial yang mengantarkan Bali ke kegelapan peradaban dan kebudayaan. Sastra kearifan kehidupan, dinafikan dan kemudian “ditenggelamkan”. Dianggap tidak pernah ada, diganti dengan cara sembarangan dengan model “ugal-ugalan”, meniru sejarah gelap Bali, pasca kejatuhan kerajaan Gelgel. Bali terpecah-pecah dalam satuan wilayah kecil-kecil, tidak pernah berhenti berperang satu sama lain, lengkap dengan rekayasa “sastra”, yang secara moral memalukan. Terjadi proses pembodohan dalam kurun waktunya yang panjang, diselingi dengan karya-karya “metaksu” yang sebetulnya merupakan perlawanan terhadap gelapnya peradaban. Upakara nyaris kehilangan “Taksu” nya, energi untuk mentransformasi Manusia dan lingkungan terus merosot dan memudar. Bhakti Tarpana yang memberikan vibrasi: ketenangan, ketentraman, kedamaian semakin sirna.
Tempat-tempat yang secara historis sosiologi agama tenang dan damai, sekarang menjadi tempat yang “sumpek panas”, akibat penghuninya nyaris memuja materi, yang distimulasi kapitalisme pariwisata.
Dalam relasi sastra Bhuwana Agung – Bhuwa Alit, soal waktu saja, Alam dan Lingkungannya akan terbakar. Bisa disimak, proyek mercu suar yang “melahap” Alam, suhu bumi permukaan Bali dalam 70 tahun terakhir 1950 – 2020, naik 1,9 derajat celsius, lebih tinggi dari Kesepakatan Paris (2016) 1,6 derajat celsius. Dalam kondisi ini, ucapan dari Sekjen PBB Antonio Guterres, dalam Konferensi Iklim PBB tahun 2022 di Mesir, menjadi relevan: “karena krisis iklim, dunia memasuki jalan tol neraka iklim”. Bali, sedang dan akan terus mengalaminya.
Jro Gde Sudibya, intelektual Bali, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.