Refleksi Kebangsaan Akhir Tahun 2024, Menyisakan “Luka” Sosial dan Politik
Denpasar, (Metrobali.com)
Refleksi Kebangsaan Akhir Tahun 2024,
Potensi Risiko Ancaman untuk NKRI, Kesenjangan Ekonomi, Dominasi Oligarki, Ekonomi Syariah, Dominasi China di Laut China Selatan dan Menyisakan “Luka” Sosial dan Politik.
I Gde Sudibya, anggota Badan Pekerja MPR RI Fraksi PDI Perjuangan 1999 – 2004, ekonom, pengamat ekonomi dan kecenderungan masa depan, Sabtu 21 Desember 2024.
Dikatakan, Tahun 2024 akan segera berakhir, tahun yang menyisakan “luka” sosial, akibat begitu banyaknya aturan yang dilanggar: aturan formal hukum, etika dan moralitas serta kepantasan sosial dalam berbangsa dan bernegara akibat kepongahan untuk mempertahankan kekuasaan, dalam label Politik Dinasti.
Menurutnya, karya film dokumenter, DIRTY VOTE, pemilihan kotor, telah menjadi dokumen sejarah kontemporer perjalanan demokrasi negeri ini, pasca dua puluh enam tahun reformasi.
“Luka” sosial yang perlu waktu untuk penyembuhannya, sikap kenegarawan terutama dari para elite politik untuk cukup berendah hati dalam proses “penyembuhan”. Bukan “adigung adi kuasa”, “aji mumpung” terhadap kemenangan yang diperoleh dari proses politik yang sarat masalah dan bahkan kotor,” kata I Gde Sudibya.
Pada sisinya yang lain, lanjut pengamat politik ini, bangsa ini dihadapkan kepada potensi risiko ancaman terhadap keutuhan NKRI, menyebut beberapa faktor pemicu penyebabnya, pertama, kesenjangan ekonomi yang begitu dalam, dengan nuansa SARA, tamsilnya: “yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin”, bahkan semakin miskin.
Dikatakan, data pemerintah memberi konfirmasi, dalam lima tahun terakhir, 10 juta warga kelas menengah “tersungkur” menjadi kelompok yang rentan menjadi miskin.
Kedua, belasan pengusaha tambang, industri sawit yang menjadi kelompok 20 orang terkaya di negeri ini, memperoleh surplus ekonomi luar biasa dari negara, sedangkan jutaan masyarakat adat, hidupnya nyaris terlunta-lunta terusir dari tanah nenek moyangnya.
Ketiga, proyek PIK II, Pantai Indah Kapuk Dua yang sarat kontroversi, dijadikan PSN (Proyek Strategis Nasional) dengan fasilitas kemudahan dari negara, padahal proyek ini, murni kegiatan bisnis, untuk membangun kawasan amat luas, konon lebih luas dari Jakarta, Singapura, bagi pemukiman dan kegiatan bisnis bagi kelompok etnis tertentu di Banten.
Dikatakan, Diky, pengelola proyek telah memagari laut belasan kilometer, melanggar aturan hukum, yang punya potensi, istilahnya membangun “negara dalam negara”. Fenomena yang kalau dibiarkan berlanjut, punya potensi mengganggu keutuhan wilayah NKRI. Fenomena yang tidak pernah terjadi pasca Indonesia Merdeka.
Keempat, semakin maraknya pengembangan ekonomi Syariah, di wilayah NKRI, soal waktu saja akan menimbulkan gesekan sosial, karena ada bagian masyarakat yang merasa “tidak lagi menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri”.
“Sehingga soal waktu saja rakyat akan melakukan perlawanan balik terhadap rekayasa aturan hukum formal ini. Kelima, “joint stament” oleh Presiden Prabowo dengan pemerintah China, tentang kemungkinan kerja sama bersama pengelolaan Laut Natuna Utara,” katanya .
Dikatakan, pengelolaan Laut Natuna Utara yang merupakan keputusan yg yang blunder, yang seakan-akan mengakui klaim China terhadap kawasan laut tsb.yang merupakan bentuk nyata terhadap ancaman NKRI dari arah Utara, yang punya potensi menjadi “hot spot” dari potensi perang besar di kawasan laut China Selatan.
Jurnalis : Sutiawan