Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)

Berangkat dari bawah sadar pengambil kebijakan pariwisata Bali, tokh wisatawan akan datang, dengan keunggulan brand yang dimiliki Bali, sehingga tidak perlu upaya yang terlalu serius, -business as usual- dalam mengelola industri pariwisata Bali.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, berpengalaman sebagai konsultan ekonomi Bali, pengamat ekonomi, Jumat 27 Desember 2024.

Jebakan lainnya, kata I Gde Sudibya, ada kepercayaan diri berlebih (over confidance) bagi pelaku usaha wisata dan juga pejabat publik, akan pemeo yang nyaris klasik, “dunia lebih mengenal Bali dari Indonesia” sehingga “take it for granted” wisatawan akan datang, dari kebijakan pariwisata yang sekadarnya – marginal policiy-.

“Akibatnya curve belajar dalam pengelolaan industri pariwisata selama 50 tahun terakhir tidak dimanfaatkan secara optimal untuk pembenahan pariwisata berkelanjutan,” katanya.

Dikatakan, pengalaman pahit pandemi Covid -19 tahun 2020 – 2022, industri pariwisata sempat mati suri, ekonomi Bali tumbuh negatif 9,3 persen di tahun 2020, tidak memberikan hikmah bagi para pengambil kebijakan untuk meningkatkan “sense of crisis” , agar “malapetaka” yang sama tidak terjadi di masa depan.

“Justru sebaliknya, muncul pungutan baru bagi wisatawan, untuk menaikkan PAD, bukan dalam artian Pendapatan Asli Daerah, tetapi diplesetkan oleh publik sebagai “pang ada dum”,” kata I Gde Sudibya.

Selain jebakan, ada juga ancaman sebagai industri yang berciri kuat kenyamanan dan keramahtamahan,- hospirslity industry- dihadapkan ancaman yang nyata: sampah termasuk sampah plastik menggulung dan “bersliweran”, kemacetan lalu lintas yang luar biasa, banjir termasuk di kawasan wisata lukratif semakin menjadi-jadi.

Dikatakan, tidak kurang dari sebuah lembaga peringkat “tourist destination” tidak merekondasikan Bali sebagai tempat yang layak dikunjungi. Laksana “halilintar di siang bolong” bagi Bali yang sebelumnya menjadi DTW utama dunia.

“Tindakan kriminal yang meningkat oleh para wisatawan, yang memberikan penggambaran “law enforcement” yang begitu lemah, pada sebuah industri yang menuntut keamanan, rasa aman pada peringkat yang tinggi,” katanya.

Menurutnya, pengaturan tata ruang yang sarat masalah, dengan implementasi lapangan yang juga bermasalah, membuat konversi lahan pertanian berlangsung cepat, pengembangan industri dan perkotaan yang tidak terkendali, yang membuat keunggulan kompetitif dan kompetitif Bali sebagai DTW dunia terus mengalami kemerosotan.

Dikatakan, sebagai DTW dunia dengan “equty brand” yang kuat, sudah tentu prospek selalu ada, dengan sejumlah persyaratan, pertama, ilusi tentang wisatawan akan selalu datang, diganti dengan kebijakan pengelolaan pariwisata berbasis curve belajar, proses belajar berkesinambungan dengan sense of crisis yang semakin tajam.

Kedua, lanjutnya, koordinasi dan integrasi kebijakan antara pengambil kebijakan dan “stake holders”pariwisata dibenahi, dengan menyusun program bersama dan peta jalan pembangunan yang lebih jelas.

Ketiga, koreksi terhadap pariwisata budaya yang telah banyak “disimpangkan”, melalui cetak biru baru pariwisata budaya, sebagai basis koreksi terhadap Perda RTRW Bali 2023 – 2043, implementasi kawasan subak lestari yang telah diamanatkan dalam UU Penyelamatan Pertanian.

“Proyek mercu suar yang “melahap” tanah luas, meminggirkan masyarakat lokal dari sisi ekonomi dan budaya, sudah semestinya dikaji ulang dan dibatalkan,” kata I Gde Sudibya, ekonom, berpengalaman sebagai konsultan ekonomi Bali, pengamat ekonomi.

Jurnalis : Sutiawan