Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)

Tebing kok “diproyekkan”, terlebih-lebih di kawasan Nreti (Barat daya) Pulau Bali, (ampura) Genah Pura Luur Uluwatu, pemujaan Tuhan Rudra pengurip 3. Gambaran dari “keblingernya” pengambil kebijakan dan “vested interest” yang mengitarinya.

Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, pendiri, sekretaris LSM.Kuturan Dharma Budaya, Jumat 4 Oktober 2024.

Menurutnya, krama yang ada di sekitar pengerukan tebing “sing rungu”, sama dengan “sing rungu” dengan sosial krama Bali (terutama) penguasanya yang telah menimbulkan: angka kemiskinan ekstrem tetap tinggi, demikian juga angka gangguan jiwa dan peristiwa yang menyertainya.

Dikatakan, Bali di menjelang puncak masa krisis, bukan “sedang baik-baik saja”. Sejarah selalu mengajarkan, masyarakat yang sedang ditimpa krisis, tetapi cenderung tidak mau mengakuinya, segera akan ditimpa krisis lebih besar yang memporak-porandakan kehidupan dan peradaban.

“Para pengawi di Bali yang intens belajar, mengulas Itihasa Ramayana dan Maha Baratha pasca kemerdekaan, juga geguritan berbahasa Bali, sangat memahami bahaya dari kemelekatan diri yang melahirkan “kemomoan” kehidupan di dunia yang serba sementara ini, MAYA,” kata I Gde Sudibya.

Dikatakan, kemelekatan yang melahirkan keserakahan akan harta benda, melahirkan kebingungan dan bisa sampai ke penghancuran diri sendiri.

“Proses cela kehidupan yang harus dihindari, melalui kemampuan “mulat sarira”, kerendahan hati, menghindari “nyapa kadi aku”, tidak terjebak ke sikap: “ajum-ajuman”, “belog ajum”, “medaya”, “menang mekisa” dan sikap “nyongkokin tain kebo”,” katanya.

Dikatakan, pentingnya, kekhusukan dalam melakukan bhakti, sebagai proses purifikasi diri, untuk mengangkat kualitas diri rokhani. Momentum refleksi diri di menjelang raina Tumpek Kuningan. (Sutiawan)