Ket foto : Bersama cucu, ngaturang bhakti ring Pura Cri Dalem Solo, Raja Bali di Era Bali Permulaan yang mewariskan kepemimpinan: hormat pada alam dan tunduk pada hukum.

 

Tanggal 31 Desember 2024, berbarengan dengan penanggal apisan sasih Kepitu, pasca raina Tilem Kenem, yang di Bali ditandai oleh upakara caru Kenem, dengan aneka sebutan: “bhakti mapahayu gumi”, “bhakti nangluk mrana”, “manut Desa mawa cara”, yang maknanya pencucian alam untuk memohonkan kesejahteraan lahir batin. Menimbulkan tanda tanya, bhakti”nanggluk merana” bersamaan dengan banjir bandang menerjang Bali , konsistensi antara niat baik dalam penyelenggaraan upakara, dengan konsistensi kebijakan dalam pelestarian alam, hutan, danau, DAS, dari risiko kerusakan, pengrusakan dan alih fungsi lahan yang kebablasan dan tidak bertanggung-jawab.

Realitas ini, memberikan gambaran manusia Bali terutama para penguasa eksekutif dan legislatif, tidak berhasil dalam merespons perubahan yang berdampak terhadap kelestarian alam.

Tampak terjadi kegagapan manusia Bali pada umumnya dalam merespons perubahan, perubahan yang datang begitu cepat terutama yang disebabkan perkembangan industri pariwisata selama 50 tahun terakhir. Pertama, di bidang ekonomi, kesempatan usaha begitu luas di industri pariwisata, tetapi keterbatasan akses sumber daya, kemampuan profesional, sehingga manusia Bali tidak mampu menjadi pemain utama di industri ini, menjadi pemain di pinggiran dan atau sebatas tenaga kerja dengan posisi terbatas. Kedua, akibat tanah, nyaris sebagai komoditas ekonomi yang begitu mudah diperjual-belikan, terjadi pemindahan kepemilikan tanah yang semakin massif dari penduduk lokal ke pendatang, yang diperkirakan ke depan, akan membawa implikasi ekonomi, politik dan juga kultural. Ketiga, Kegagapan dalam mengembangkan ethos kerja, dalam perubahan berlangsung deras, sehingga lahir pemeo: “penduduk lokal jual tanah untuk beli bakso, sedangkan pendatang jual bakso dan kemudian bisa beli tanah”. Lagi viral di medsos, orang lokal sibuk dengan upakara dengan biaya besar, menguras waktu dan tenaga, orang luar sibuk melakukan investasi dan meraup untung. Mungkin kritik satire yang rada berlebihan, tetapi realitas sosialnya, mudah kita temukan. Keempat, sebagian manusia Bali gagap dalam merencanakan masa depan, dan atau terjebak dengan ilusi, dan pada waktu bersamaan, “memuja” masa lalu, tetapi dengan pengetahuan kesejarahan yang minim dan dangkal. Kelima, “Ajeg Bali” didengungkan, dalam ornamen luar yang dangkal, bisa-bisa menjadi rasionalisasi bawah sadar, sekadar menunda kekalahan.

Keenam, terjadi kedangkalan intelektualitas yang akut, ditutupi oleh kepura-puraan, ciri khas feodalisme dari “priyayi” Bali lama maupun baru, seakan-akan membenarkan satu sloka dalam Upanisad, jika keserakahan menguasai manusia maka kecerdasan runtuh. Ketujuh, di akar rumput dan kemudian menjalar ke atas, prilaku “perjudian” kehidupan sangat tampak, dan semakin mendominasi dalam pengambilan keputusan publik, menjadi “mind set” sebagian manusia Bali, jauh dari kecerdasan. Sehingga prilaku: “ajum”, ajum-ajuman”, “premanisme” menjadi keseharian manusia Bali.

Kegagapan manusia Bali merespons perubahan, gagal dalam memakai perubahan, sehingga soal waktu saja, tamsilnya “tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri”.

Intelektual Bali, penulis epilog dalam buku ” Baliku Tersayang Baliku Malang” Potret Otokritik Pembangunan Bali Satu Dasa Warsa, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004.