Dalam perayaan 96 tahun Sumpah Pemuda, sangat pantas Kita berefleksi mengenang sejumlah anak-anak muda cerdas, berani dan visioner, mendklarasikn diri bersumpah: “bertanah air, berbahasa dan berbangsa satu,INDONESIA.

Deklarasi yang merupakan terobosan besar kesejarahan, dalam kehidupan umum masyarakat di era itu di dera kemiskinan, kemiskinan total: ekonomi, sosial kultural, akibat: eksploitasi feodalisme pribumi, penjajahan bangsa-bangsa luar, dan atau kolusi di antara mereka.
Sehingga, merupakan terobosan besar sejarah bagi bangsa ini, para perintis pendiri bangsa, menyebut beberapa: Tan Malaka, HA Salim, Soekarno, M. Hatta, Soetan Sjahrir, memberikan fokus penting terhadap pendidikan politik, terhadap masyarakat, yang telah lama begitu lama dieksploitasi oleh feodalisme dan kemudian penjajahan.
Pasca 96 tahun Sumpah Pemuda, 79 tahun Indonesia Merdeka, rata-rata kecerdasan manusia Indonesia begitu rendahnya, tingkat IQ rata-rata 78, menurut penelitian Bank Dunia, jauh di bawah Vietnam, yang sudah berada di atas 100. Menurut akhlinya, rata-rata IQ 78, sedikit lebih tinggi dari kecerdasan Simpanse, manusia kera yang menurut sejarahwan ternama Yuval Noah Harari dalam bukunya SAPIENS, ditemukan pertama kali di Afrika Timur, 7 juta tahun lalu.
Fenomena kemanusiaan yang begitu menghenak, membuat rasa malu, dan bisa melahirkan sikap kompleks rendah diri, dari kualitas kecerdasan manusia yang begitu rendahnya. Pemerintah tidak melakukan penyanggahan terhadap data Bank Dunia ini, sehingga publik menilai sebagai kenyataan yang mesti diterima.
Sebagai sebuah refleksi 96 tahun Sumpah Pemuda, mari Kita simak sejumlah indikator kesejahteraan sosial negeri ini, menyebut beberapa saja di antaranya, pertama, angka stunting 26 persen, berarti: dari rata-rata 5 anak Balita, 1 mengalami stunting. Kedua, rata-rata tingkat pendidikan angkatan kerja nasional setingkat tamatan SMP, dan bahkan 80 persen pemilih Indonesia, rata-rata pendidikannnya setingkat kelas 7, tidak tamat SMP. Ketiga, dari jurnalime data Kompas, 168 juta penduduk negeri ini, tidak mengkonsumsi gizi dalam kategori “4 sehat 5 sempurna”. Keempat, dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan Bank Dunia: pengeluaran per orang per hari 2 dolar AS, setara dengan Rp.32 ribu, jumlah penduduk miskin di negeri ini, 40 persen dari jumlah penduduk, sekitar 112 juta orang. Kelima, politik kekuasaan mutakhir di negeri ini, menjadi kemiskinan sebagai elegi, “dipertontonkan”, kemudian “dibeli”, “dimanipulasi” dengan politik perlindungan sosial untuk tujuan keberlanjutan kekuasaan.
Kepemimpinan dan pengelolaan negara bangsa yang a historis dengan keteladanan para pendiri bangsa.

Dirgahayu 96 tahun Soempah Pemoeda.

I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, dan kecenderungan masa depan.