Realitas Tayangan Upacara Agama dan Adat di TV : Antara Pelestarian dan Sosialita Masyarakat Bali
Penulis :
I Nengah Muliarta
Komisioner Bidang Kelembagaan KPID Bali
Salah satu program siaran televisi yang hampir merata ada di setiap stasiun TV di Bali adalah prosesi upacara agama hindu dan adat di Bali. Program siaran upacara agama dan adat ini seakan menjadi program wajib bagi stasiun TV. Apalagi demi memenuhi ketentuan program siaran lokal minimal 10 persen hingga 50 persen. Secara aturan dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2002 tentang penyiaran memang terdapat ketentuan bagi lembaga penyiaran untuk turut serta meningkatkan nilai-nilai moral, spiritual dan agama melalui program siarannya. Buktinya pasal 5 poin b dalam Undang-Undang penyiaran dengan tegas menyebutkan bahwa penyiaran diarahkan untuk menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa. Secara logika tentu bias dipahami bahwa program siaran upacara agama akan diminati oleh masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Namun sejauh mana program siaran upacara tersebut memberikan informasi dan pendidikan bagi masyarakat Bali? Jangan sampai program tersebut justru menimbulkan gaya hidup jor-joran atau justru menjadi komoditi penghasilan bagi lembaga penyiaran.
Kegiatan upacara agama dan adat tidak pernah lepas dari keseharian masyarakat Bali. Hampir setiap hari terdapat upacara agama atau adat di Bali. Jika dicermati bagi lembaga penyiaran, kegiatan yang rutin dan periodik tersebut dapat dijadikan program siaran unggulan. Ketersediaan bahan untuk disiarkan juga akan menjadi cukup melimpah dan selalu tersedia. Sayangnya selama ini program siaran upacara agama dan adat hanya memberikan informasi tempat, waktu pelaksanaan dan prosesi upacara dari awal hingga akhir. Siaran upacara agama dan adat selama ini belum menyentuh pada penjelasan makna spiritual dan penjelasan kontekstual kekinian. Wajar akhirnya program siaran agama dan adat hanya menjadi program sekedar lewat, karena tidak memberikan informasi dan pendidikan. Padahal masyarakat sangat berharap adanya penjelasan pada setiap tahap pelaksanaan upacara. Penjelasan yang diharapkan juga penjelasan yang lebih ilmiah. Tantangan tersebut harus mampu dijawab oleh lembaga penyiaran terutama televisi agar program siaran upacara diminati masyarakat. Pemilihan narasumber yang sesuai dan pendalaman studi literatur yang mendalam tentu sangat dibutuhkan. Pada sisi lain, tim produksi televisi dituntut menghadirkan siaran yang padat, kreatif dan menghibur. Tentunya tayangan tersebut juga dibatasi durasi atau waktu siar.
Program siaran upacara yang sering dimunculkan selama ini oleh televisi cenderung upacara besar. Memang dari segi keberagaman sudut pandang pengambilan gambar lebih variatif. Namun sayangnya siaran tersebut gagal memberikan penjelasan dan pemaknaan. Sebagai contoh kegagalan dalam menjelaskan pemaknaan saiban atau ngejot yang dilakukan masyarakat Hindu Bali setelah memasak. Saiban merupakan kegiatan upacara yang dapat dikatakan sangat kecil dan sederhana, kenyataanya gagal dijelaskan dalam program siaran. Termasuk menjelaskan hubunganya dengan konsep dasar Tri Hita Karana. Harusnya hal-hal seperti ini dapat dijelaskan dengan sederhana dan ilmiah sehingga masyarakat yang menonton mendapatkan informasi dan pendidikan. Dalam konsep penjelasan sederhana Saiban pada satu sisi adalah ungkapan syukur berkah yang diberikan oleh Tuhan. Saiban juga mengandung makna bentuk ungkapan kepada sesama, sanak saudara ataupun tetangga untuk bisa ikut makan. Pada sisi lain, saiban juga mengandung makna menyediakan makan bagi makhluk ciptaan tuhan lainnya, seperti burung, semut dan cecak. Mengingat tidak jarang nasi saiban dimakan oleh semut, burung dan cecak. Jika saiban saja tidak mampu dijelaskan dalam program siaran, bagaimana kemudian mengangkat upacara-upacara agama dan adat yang cukup besar di Bali. Jangan-jangan program siaran upacara bukan justru membawa manfaat, tetapi justru menimbulkan salah pengertian dan pemaknaan karena kesalahan lembaga penyiaran.
Wacana yang berkembang saat ini terkait upacara agama dan adat adalah nuansa upacara yang jor-joran atau berlebihan, seperti dalam pembuatan banten dan sesajenya. Pembuatan sesajen dalam upacara seakan tidak lagi berdasarkan semangat keikhlasan tetapi lebih pada upaya menunjukkan kemampuan ekonomi dan strata sosial. Darimanakah masyarakat meniru dan siapakah yang menyebarkan? Adakah peran lembaga penyiaran terutama televisi dalam hal ini? Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan pakar komunikasi memang menunjukkan bahwa lembaga penyiaran melalui siaranya mampu mengubah pola pikir dan prilaku masyarakat. Riset Albert Bandura tahun 1977 menunjukkan, televisi mendorong peniruan perilaku sosial, bahkan pada tahap akhir mampu menciptakan realitas (teori pembelajaran sosial kognitif). Begitu juga dalam pola pikir dan prilaku beragama dan bersosialisasi dengan lingkunganya. Dalam siaran upacara agama dan adat sering sekali televisi menghadirkan gambar kemewahan untuk menunjukkan besarnya upacara. Bahkan tidak jarang menyampaikan biaya upacara yang menggunakan dana cukup besar. Informasi yang didapatkan dari siaran televisi tersebut kemudian dijadikan tolak ukur oleh masyarakat. Masyarakat seakan tidak lagi melihat kemampuan dan strata sosial dalam melaksanakan upacara agama dan adat. Sudah saatnya lembaga penyiaran televisi mulai mempertimbangkan untuk tidak saja menyiarkan upacara agama dan adat yang dalam kategori besar, tetapi juga mengangkat upacara agama dan adat sesuai strata sosial masyarakat. Dalam siaran upacara juga hendaknya tidak selalu mengacu memberikan informasi biaya upacara, tetapi mengangkat informasi semangat pemaknaan upacara dan semangat kebersamaan dalam melaksanakan upacara agama maupun adat.
Tampilan gambar dan pemilihan gambar yang baik menjadi unsur utama dalam siaran televisi. Kondisi ini menyebabkan kameramen akan focus pada sudut pandang gambar yang unik dan menarik. Sebagai sebuah contoh pada banten pajegan dalam sebuah upacara agama yang cenderung menggunakan buah-buah impor. Jika dilihat dari sudut pandang pengambilan gambar untuk visual televisi tentu sangat bagus karena memperlihatkan buah-buahan yang berukuran besar dan segar. Pada beberapa kasus terkadang ditemui masyarakat berlomba-lomba ingin memamerkan banten pajegannya karena tahu akan diliput oleh televisi. Kemudian apa yang menjadi tampilan visual pada tayangan televisi diikuti oleh masyarakat. Masyarakat juga semakin enggan menggunakan buah lokal yang merupakan hasil produksi masyarakat Bali sendiri. Padahal disisi lain, masyarakat Bali memiliki konsep pala bungkah, pale gantung. Tentunya menjadi catatan bagi produser televisi dalam mengemas tayangan upacara agama dan adat agar memperhatikan konsep, norma dan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Bali. Jangan sampai lembaga penyiaran menyerukan kearifan lokal tetapi tampilan dalam layar kaca mengabaikan konsep kearifan lokal yang ada dalam lingkungan masyarakat Bali.
Kehadiran program siaran upacara agama dan adat dalam siaran televisi memunculkan keinginan beberapa kelompok masyarakat untuk mengundang crew TV melakukan kegiatan peliputan. Inisiatif tersebut tentu dengan harapan upacara agama atau adat yang dilaksanakan dapat disiarkan di televisi. Bahkan tidak jarang pada beberapa kasus panitia upacara mengundang dan menjanjikan bayaran untuk biaya peliputan bagi crew TV. Pada kasus lainya ada juga stasiun TV yang menjadikan undangan peliputan upacara agama atau adat sebagai komoditi penghasilan dengan mewajibkan panitia upacara membayar biaya peliputan dan penayangan. Kondisi seperti ini telah berlangsung lama dan sudah biasa dilakukan sehingga seakan menjadi hal yang wajar dan benar. Padahal dari konsep keikhlasan dalam melaksanakan upacara tentunya ini tidak sesuai. Bagaimana dikatakan melaksanakan upacara secara ikhlas, namun kemudian diumumkan melalui media televisi. Belum lagi pengumuman melalui media televisi tersebut dilakukan dengan membayar. Secara aturan juga menyalahi ketentuan dalam penyiaran. Dalam pasal 46 ayat (10) Undang-Undang penyiaran secara tegas telah dinyatakan bahwa waktu siar lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapa pun, untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan. Kadang untuk mengakali aturan ini, lembaga penyiaran menyatakan biaya yang dibayarkan sebagai ganti ongkos produksi. Tentu alasan tersebut tidak masuk akal, karena untuk memproduksi sebuah program siaran harusnya lembaga penyiaran televisi telah memiliki dan mengalokasikan biaya produksi. Begitu juga akan menjadi sangat aneh karena masyarakat membiayai proses produksi sebuah industri televisi yang beroperasional dengan modal besar.
Seiring dengan semakin rutinya frekuensi penayangan upacara agama dan adat di layar kaca seakan-akan kini menjadi komoditi bagi lembaga penyiaran. Penayangan upacara agama dan adat tidak lagi dipandang sebagai upaya pelestarian, tetapi menjadi sebuah komoditi pendapatan oleh lembaga penyiaran. Beberapa bukti yang dapat dijadikan acuan bahwa penayangan upacara agama dan adat telah menjadi komoditi salah satunya adalah adanya penyiaran upacara yang sama, namun cuma berbeda tempat pelaksanaan dan panitia pelaksanaanya. Secara konsep jurnalistik tentunya informasi yang ditampilkan harus memiliki nilai keunikan. Kenyataanya runutan upacara yang disiarkan sama, cuma beda narasumber dan tempat pelaksanaanya. Pada beberapa kasus panitia penyelenggara upacara memasukkan item penayangan upacara di televisi sebagai bagian dari biaya upacara agama dan adat. Tentunya hal ini akan berdampak pada biaya upacara yang menjadi besar. Padahal biaya penyiaran upacara agama atau adat di televisi bukanlah bagian dari prosesi upacara yang digelar.
Pelanggaran telah terjadi, yang menjadi pertanyaan kemudian mengapa Komisi Penyiaran Indonesia khususnya KPID Bali tidak menjatuhkan sanksi? Mengapa KPID Bali terkesan diam dan melakukan pembiaran? Dalam bertindak tentunya harus berdasarkan pedoman hukum dan adanya bukti. Berdasarkan aturan yang ada dalam undang-undang penyiaran memang telah menegaskan waktu siar tidak dapat diperjual belikan kecuali untuk iklan. Masalahnya kemudian bagaimana mendapatkan bukti pembayaran. Belum lagi terkadang orang yang mengaku telah melakukan pembayaran menolak untuk memberikan kesaksian. Perlu kesadaran bersama bahwa frekuensi adalah milik bersama dan harus digunakan demi kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi kelompok atau golongan. RED-MB
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.