Denpasar (Metrobali.com)-

Gambaran dari sikap yang menggampang persoalan dan cara mudah dalam pembuatan keputusan, meminjam istilah antropolog ternama Prof.Kontjoroningrat, SIKAP MENTAL MENERABAS, dengan cirinya: menggampangkan persoalan, tidak menghargai proses, dan melanggar norma.

Hal itu dikatakan pengamat kebijakan publik Jro Gde Sudibya, Jumat 21 Juli 2023 menanggapi Ranperda pemungutan Rp 150.000 bagi setiap wisatawan masuk Bali. Pemungutan uang pada wisatawan tersebut nantinya akan digunakan untuk membiayai pelestarian seni dan budaya Bali.

Menurut putra Tajun Buleleng ini, pelestarian budaya Bali adalah urusan kita orang Bali, bukan urusan orang asing yang datang ke Bali.

“Pengenaan pungutan secara langsung, direct levy, akan menimbulkan kesan kuat di publik global bahwa Pemda Bali “menjual” kebudayaannya. Seakan-akan membenarkan stereotipe, yang menyatakan, kita sebatas “tontonan”, mirip pengunjung yang mendatangi kebun binatang,” kata Jro Gde Sudibya.

Dikatakan berangkat dari cara berpikir kaum kolonial: mereka menganggap kita THE OTHERS, orang lain yang pantas “ditonton”, berangkat dari stereotipe superior – imperior.

Dari perspektif kebijakan pembangunan yang benar dan cerdas, lanjut Jro Gde Sudibya semestinya kebijakan pembangunannya yang perlu dikoreksi, seperti: peningkatan pendapatan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi kebijakan perpajakan sesuai aturan yang berlaku, pendapatan yang dikelola baik, tidak dibocorkan, apalagi dikorupsi model korupsi tradisional atau korupsi sistemik.

Menurutnya, pertajam prioritas pembangunan, antara lain melalui hasil Rakorbang dijadikan acuan dalam penentuan skala prioritas proyek, tergambarkan dalam APBD.

“Bukan sebatas kegiatan basa-basi, kemudian hasil Rakorbang “dibajak”, dan dananya diarahkan ke proyek mercu suar, yang telah merusak lingkungan, menodai keimanan dan punya potensi semakin meminggirkan masyarakat Bali,” katanya.

Dikatakan, proyek Pura Besakih, Pusat Kebudayaan Bali (PKB) Klungkung, Jalan Tol Gilimanuk – Mengwi, Tower di Buleleng adalah contohnya, dan sejumlah proyek lainnya yang menghambur hamburkan uang.

Menurutnys, bagi para pengamat tentang Bali yang jeli, setiap upaya untuk “menjual” Bali secara tidak bertanggung-jawab, pasti akan kena karmanya. Setiap pelaku usaha wisata di Bali tahu itu dan merasakan itu, terlebih-lebih dengan terjadinya “badai” pandemi tahun 2020 – 2021 dan separuh tahun 2022.

Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI 1999 – 2004, ekonom, konsultan ekonomi dan pengamat ekonomi mengungkapkan, supaya masyarakat Bali sadar, “menjual” Bali bentuk penghinaan terhadap peradaban dan kebudayaan Bali. Telah “dirusak” oleh 44 proyek pembangun fisik, yang melepaskan peradaban Bali dari nilai-nilai luhurnya: respek pada alam, sistem keyakinan ke niskala-an, dorongan proses berkesenian, yang kemudian direduksi sebatas pertumbuhan ekonomi, tanpa kita menjadi tahu siapa yang menikmatinya.

Selain itu, lanjut Jro Gde Sudibya, proyek mercusuar tentang PKB Klungkung telah dan sedang merusak lingkungan, membebani APBD Bali, lokasinya risiko tinggi “diterjang” banjir lahar panas dan dingin (jika Gunung Meletus), mengusik ketenangan pengempon Pura Bukit Buluh mebhakti. Namun, sekarang rencananya mengambil dana APBD Bali sebagai modal, proyek yang melawan akal sehat dan tuna empati. Anehnya masyarakat Bali diam berpangku tangan, membiarkan proyek kontroversial ini berlangsung.

Memjnjam retorika Soekarno tentang revolusi, “Revolusi Menjebol dan Membangun”, dalam konteks Bali di kekinian, masyarakat agaknya tidak bisa diajak berevolusi.

Dikatakan, sejarah sering mengajarkan bahwa sejarah ditulis oleh pemenang di kalangan penguasa. Kita sedang menyaksikan prilaku pemalsuan sejarah, untuk motif kekuasaan, yang merupakan kejahatan politik, political crime.

“Sibentar lagi menyusul, meniru ucapan Soetan Sjahrir “orang-orang bertitel” yang kemungkinan dibayar untuk menjustifikasi manipulasi sejarah tersebit. Kita benar-benar hidup di zaman edan,” sebut Jro Gde Sudibya. (Adi Putra)