Oleh: I Gde Sudibya
Sejak himbauan pemerintah untuk #bekerja, belajar dan beribadah di rumah, 16 Maret 2020, otomatis sudah 2.5 bulan sebagian dari kita tinggal di rumah. Kalaupun melakukan aktivitas ekonomi, tingkat produktivitas dan nilai ekonominya jauh lebih rendah dari waktu normal sebelumnya.
 Realitas kehidupan yang terpaksa menganggur akibat pandemi, yang kemudian membawa implikasi serius terhadap totalitas dimensi kehidupan: berkurangnya dan bahkan lenyapnya pendapatan karena harus menganggur dan atau merosot tajamnya usaha, ketidakpastian masa depan: karier, pendidikan anak-anak, kejenuhan dan kemudian kebosanan berkepanjangan dalam kehidupan yang nyaris tanpa aktivitas. Pada sisinya yang lain, sebagai mahluk sosial untuk mengikuti protokol kesehatan: jaga jarak, membuat hubungan sosial menjadi sangat minimal.
Padahal dalam realitas sosial kita memahami: tekanan kehidupan yang terutama berasal dari persoalan ekonomi, akan dapat ” diobati “, dan paling tidak dapat diseimbangkan dengan hubungan sosial yang lebih dekat dan lebih  erat. Demikian juga sebaliknya.
Kondisi penuh tekanan dan ketidakpastian di atas, jika berkepanjangan dan kalau tidak diwaspadai akan merubah secara cepat pikiran dan suasana hati, dari positif menjadi negatif, dari optimis menjadi pesimis, dari kegairahan kehidupan menjadi kelesuan, dari penuh harap menjadi kehilangan harapan, dari perspekti berpikir dengan jangkauan ke depan menjadi masa bodo dengan masa depan, dan sejumlah paradoks kehidupan lainnya.
Proses transformasi diri yang destruktif ini, biasanya dipicu dan kemudian mengalami peningkatan intensitas karena stres dan kemudian menjadi depresi. Stres secara sosial dan kemudian depresi secara sosial.
Secara normatif, opini publik yang terbentuk semestinya bisa menjadi rujukan bagi masyarakat yang galau untuk lebih mengerti duduk masalahnya, memberikan pilihan-pilihan berpikir dan bahkan tempat berteduh ( mesayuban, bhs.Bali ) di tengah-tengah ketidakpastian kehidupan.
Tetapi nyatanya dan bahkan ironisnya, opini publik yang terbentuk terlebih-lebih di media sosial, sarat dengan: opini tanpa fakta yang kuat, analisis yang lemah, penuh prasangka, analisis model konspirasi dan bahkan hoax. Di era post truth ( banyak kebohongan ) dan trend anti pengetahuan, ada risiko sebagian masyarakat kehilangan orientasi, menumpulnya kecerdasan, dan semakin kehilangan harapan akan masa depan.
Membangun harapan dan optimisme
Dalam kondisi seperti ini, kita dapat mengajukan pertanyaan dan berefleksi, di menjelang perayaan 75 tahun lahirnya Pancasila. Apakah bangsa dan negeri ini tidak punya daya tahan dan kekuatan mental, karena perjalanan sejarahnya,  kemerdekaan negeri ini direbut melalui rangkaian perang berkepanjangan, yang mengorbankan darah dan air mata dan juga kecerdasan berdiplomasi.
Dalam konteks ini, kita dapat merujuk pemikiran dan dedikasi kehidupan dari Bapak-bapak Pendiri Republik, satu sampai dua warsa di menjelang proklamasi kemerdekaan. Pemikiran dan sepak terjang politik Soekarno dalam dasa warsa 1920’an dan 30’an dalam rangkaian tulisan di harian Suluh Indonesia, yang kemudian dirangkum dalam buku: Di Bawah Bendera Revolusi, memberikan gambaran sangat jelas tentang: kecerdasan, visi masa depan, motivasi untuk berani dan bangkit melawan penjajahan, di tengah-tengah mayoritas masyarakat: yang amat sangat miskin, tuna pendidikan, dan tidak berani bermimpi tentang masa depan.
Padahal hampir seluruh rakyat amat sangat menderita setelah depresi ekonomi besar, di pertengahan dasa warsa 30 ‘ an. Zaman malaise, yang kemudian diplesetkan jadi zaman meleset, karena sulitnya kehidupan.
Tulisan-tulisan tenang Pak Hatta, dengan pemikiran yang sangat runtut di harian Daulat Rakyat di dasa warsa yang sama tentang: keadilan ekonomi, keadilan politik, prinsip gotong royong dalam perekonomian, dalam kehidupan sehari-hari beliau yang sangat sederhana.
Perjalanan panjang Soetan Sjahrir,  di awal dasa warsa 1940 ‘an memberikan pendidikan politik generasi muda keliling Jawa, dengan naik kereta,  kemampuan keuangan sangat minim dan juga menderita sakit  paru-paru.
Dengan sejumlah tema: demokrasi, keadilan sosial dan bahkan paham kemanusiaan ( humanisme ). Dan
dari vitalitas hidup dan kehidupan dari The Founding Fathers di atas tentang:  kerelaan berkorban dan bahkan keberanian untuk menderita, kecerdasan dan keberanian untuk menapaki masa depan di tengah-tengah kesulitan kehidupan, intelektual yang menyatu dengan kehidupan riil rakyatnya, menjadi modal bersama bangsa untuk menghadapi persoalan bangsa yang tidak mudah di hari-hari ini, yang dipicu oleh Pandemi.
Merujuk ke thesis Prof Huntington tentang konflik peradaban, pandemi Covid-19 ini, barangkali akan menjadi  batu uji, negara bangsa mana yang akan memenangkan pertarungan dan juga yang akan mengalami kekalahan.
Sekarang rakyat Indonesia sudah kehilang nilai nilai luhur Pancasila saat Pendemi Covd-19 melanda hampir seluruh daerah di Indonesia. Pancasila yang seharusnya dipakai pegangan dan rujukan dalam menghadapi pandemi virus corona ini tinggal hanya teks dan tanpa ruh. Niai nilai yang ada pada pancasila urutan tek yang jauh dari harapan pendiri bangsa ini.
Semua terkesan bahwa penanganan covid tidak terstruktur dan tersistem. Sehingga, rakyat ingin dan berusaha menyelamatkan diri sendiri. Lebih-lebih pemerintah dalam penanganan Covid-19 ini tidak cukup banyak punya dana. Ada kesan untuk menyelamatkan diri sendiri bah titik darah penghabisan. Rakyat seolah olah tidak punya pemimpin dan panutan terutama di dalam menghadapi Covid-19 ini.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat: ekonomi, sosial dan kecendrungan masa depan.