Denpasar, (Metrobali.com)

Telah terjadi de sakralisasi Besakih dan juga politisasi yang diduga untuk perpanjangan kekuasaan, yang begitu banal, tetapi para cerdik cendikia diam “seribu bahasa” “menonton” fenomena ini, seakan-akan tanpa rasa bersalah. Yang jelas, fenomena ini, menggambarkan “pameran” kekuatan kekuasaan yang mampu “menjinakkan”, membuat “koh ngomong” dan sikap indiference (sikap “gabeng” antara boleh dan tidak), kelompok masyarakat yang dikategorikan oleh Perdana Menteri Pertama negeri ini Soetan Sjahrir sebagai golongan bertitel.
Setelah mebhakti raina Tumpek Wayang hari ini, 29 April 2023, bisa timbul pertanyaan reflektif seperti di bawah ini.
Pertama, apakah kekuatan kekuasaan begitu kuatnya, diikuti dan dicoba dijustifikasi (dicarikan pembenaran)
melalui pragmatisme kepentingan ekonomi pariwisata, membuat kalah “bertekuk lutut” masyarakat yang dalam perjalanan sejarahnya pemegang teguh tradisi dan punya spirit puputan?.
Kedua, masyarakat dengan tradisi nyastra yang kuat, belajar dari Alam (peradaban Bali Awal), belajar dari Itihasa Ramayana, Asta Dasa Parwa dan banyak karya sastra lainnya (peradaban Bali Pertengahan sampai puncak kepemimpinan Gelgel), kok begitu mudah terkecoh oleh prilaku oknum kekuasaan, “merubah” Besakih, keluar dari sistem keyakinan yang melekat dan “jalur” sejarahnya?.
Ketiga, jangan-jangan mayoritas orang Bali, secara de fakto telah meninggalkan sistem keyakinannya yang melekat (sebut saja inhaerened faith system) GIRI TOH LANGKIR MRAGA LINGGHA WIDHI, sosiologi agama yang melekat NYEGARA – GUNUNG, bhakti MEAJAR-AJAR (prosesi bhakti respek pada Ida Leluhur), yang mencapai salah satu “puncaknya” nangkilang pengelingsir (yang sangat dihormati) pasca pitra jajna, ring jejer kemiri pura ring palebahan Basukhian.Dan kemudian “tirtha yatra” berlanjut menuju ke arah Timur jejer kemiri pura ring palebahan Bukit Bisbis Lempuyang?. Digantikan dengan sistem keyakinan “Gado-gado” yang datang dari negeri antah berantah, (gado-gado makanan khas yang enak dan gurih), tetapi “gado-gado” dalam konteks tulisan ini adalah “menu” yang tidak enak dan bisa beracun.

Pada dasarnya setiap manusia adalah pelaku sejarah, terserah masyarakat Bali membiarkannya peradabannya terus terpuruk menuju titik nadirnya, atau bangkit “nyengahang raga” bersama, melawan kekuatan destruktif yang sebagian terselubung dan juga begitu nyata.

Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma), dan banyak menulis tentang Besakih.