Raina Kajeng Renteng, Fenomena Alam “Aneh” yang Sedang Menimpa Bali
Tangkapan layar, Tukad Unda di Klugkung Blabar
Oleh : Jro Gde Sudibya
Hari ini 7 Juli 2023 raina Kajeng Renteng, raina yang secara tradisi bermakna penghormatan terhadap alam termasuk alam tumbuh-tumbuhan, karena telah memberikan berkah kesejahteraan, melalui kerja berkelanjutan dalam menjaga dan merawat alam. Dalam pandangan tetua Bali (yang tidak seluruhnya diucapkan), dalam bahasa ke kinian, dimana alam dirawat dan dijaga, di sana realitas Tuhan menjadi nyata. Meminjam istilah Soekarno intelektual bapak pendiri bangsa, penganut teosofi Jawa, pada keseimbangan alam yang terjaga, Tuhan sebagai zat yang abadi kehadirannya dalam rasa batin menjadi nyata. Svami Vivekananda menyebutnya dengan istilah divinity of the nature, Tuhan ada pada alam.
Dalam mebhakti di raina Kajeng Renteng yang bermakna pemulyaan alam, di Bali hari ini terjadi sebut saja bencana hidrologi di banyak tempat, di medsos diberitakan “Tukad Unda Mengamuk”, banjir dan longsor di banyak tempat, di.musim kemarau. Bahkan BMKG dalam beberapa rilisnya memperkirakan Bali di bulan Juli 2023 ini mengalami fenomena El Nino dengan perkiraan 60 persen – 80 persen, berarti Bali diperkirakan mengalami kekeringan, pada posisi moderat sampai ekstrem. Anehnya, Bali di banyak tempat mengalami hujan deras dengan banjir besar, longsor di banyak tempat.
Keseimbangan (rtem) alam Bali terganggu skala niskala. Sebelumnya diberitakan, kasus rabies di Bali sekitar 14.000 kasus, sekitar 14 kali lipat dari jumlah kasus secara nasional, yang juga memberikan penggambaran dari “porak porandanya” keseimbangan alam Bali.
Timbul pertanyaan sebut saja spekulatif, berbasis keyakinan krama Bali dalam perjalanan panjang keyakinannya, yang berupa, kira-kira apa yang menyebabkan fenomena alam aneh ini?. Terlebih-lebih banjir bandang di Tukad Unda, yang dapat mengingatkan, banjir bandang lahar panas dan dingin, beberapa waktu berselang pasca Gunung Agung meletus Maret 1963.
Pangkal penyebab pokoknya adalah: ketengetan, kepingitan dan kesucian Bali mulai ditinggalkan, dengan dasa muka alasan: kesewenang-wenangan penguasa dalam merusak alam, komersialisasi kehidupan yang kebablasan pada kegiatan ritual yang nyaris menjadi industri, pendangkalan rasa keagamaan yang semakin massif, pendalaman keagamaan palsu (memuja yang datang dari luar tanpa kedalaman teologi minus rasa agama), menghina tradisi, tetapi dihidupi oleh tradisi yang mereka nafikan. Dalam bahasa Cak Nur, cendikiawan ternama Nurcholis Madjid, doktor lulusan perbandingan agama dari Universitas Harvard, mereka yang baru belajar di tingkat TK (Taman Kanak Kanak), tetapi bersuara lantang ngomong kebenaran Tuhan.
“Melting pot” yang sedang dihadapi Bali, di tengah tahun politik, yang serba TUNA, tuna: etika moral, keteladanan, kecerdasan dan idealisme.
Dalam fenomena ini, menarik diingat kembali ucapan Pak Hatta di tahun awal kemerdekaan, dengan mengutip pendapat seorang filosof Jerman Schiler, suatu abad besar telah lahir, tetapi ia (abad itu) hanya menemukan manusia-manusia kerdil.
Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, penulis buku Agama Hindu dan Budaya Bali.