Denpasar, (Metrobali.com)

Pada hari ulang tahun (HUT) ke-40 lembaga perkreditasn desa (LPD) yang digelar di Kampus UNHI Tembau Denpasar, Senin (23/12/2024), salah satu diisi dengan launching buku Akuntansi yang disusun oleh akademisi FEB UNIVERSITAS UDAYANA yakni Prof. Dr. I Wayan Ramantha. Launching dilakukan anggota DPD RI Dapil Bali IB Rai Dharmawijaya Mantra bersama Kepala BKS LPD Bali Nyoman Cendekiawan dan Kepala LPLPD Bali Nengah Karmayasa,  serta disaksikan oleh para undangan lainnya Dirut BPD Bali Nyoman Sudharma, Rektor UNHI, Para Rektor Perguruan Tinggi Negeri & Swasta se Bali dan undangan lainnya.

Di hadapan Kadis Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Bali IGAK Kartika Jaya Seputra dan Dirut Jamkrida Bali Mandara (Perseroda) serta 600 orang lebih kepala LPD se-Bali, IB Rai Mantra yang juga putra pencetus Lembaga Perkreditan Desa / LPD Prof. IB Mantra tersebut menyatakan sangat yakin dengan buku Akuntansi yang disusun oleh Prof. I Wayan Ramantha. Hal ini karena Ramantha merupakan akademisi yang sempat menjadi promotornya saat menempuh S3 (pendidikan doktor di FEB Unud). “Selain itu, Prof. Ramantha juga praktisi yang mengaudit keuangan di sejumlah LPD dan menjadi pengawas di salah satu LPD dimana beliau tinggal,” ungkap Rai Mantra memulai kesaksiannya.

Mantan Walikota Denpasar tersebut sempat memaparkan sejarah kemunculan LPD yang digagas oleh sang ayah Prof. IB Mantra. Pasca proklamasi, ujarnya, Prof Ramantha sempat bertemu dengan ayahnya, awalnya sekitar tahun 1989. Saat itu, mereka berbicara dan membahas LPD, setiap Kembali ke Bali dari India sebagai Duta Besar, Prof Ramanta pasti menemui Prof Mantra untuk berdiskusi Kembali masalah Lembaga Perkreditan Desa / LPD dan ekonomi Hindhu secara umum, hal yang sama dilakukan sebelumnya oleh Prof Gorde (UNDIKNAS) saat beliau menyusun konsep ekonomi Hindhu, ini dilanjuknan oleh Prof Ramantha . “Saat itu, IB Mantra menjadi dubes di India, setiap kembali ke Bali pasti Ramantha berkunjung untuk berdiskusi soal LPD dan masalah yang lain seperti ekonomi Hindu,” tegasnya.

Menurut Rai Mantra, setelah mengalami perjalanan panjang kurang lebih 36 tahun dan melakukan penelitian-penelitian terkait LPD, akhirnya LPD pun didirikan. “Saat berdiskusi, Prof Ramanta memang seoarang ahli akuntansi tapi beliau menyadari akan sejarah pendirian & perjalanan Lembaga Perkreditan Desa / LPD tersebut, itu memang tidak bisa diselesaikan oleh satu disiplin ilmu, akan tetapi multidisipliner yang hubungannya dengan kekuasaan, idealisme, sosial, profesi dan konteks sejarah,” tegasnya.

Rai Mantra mengatakan, LPD ini memang dilahirkan dari sebuah logika kelembagaan yang dipakai untuk beradatasi secara nasional & global, makanya bernama Lembaga Perkreditan Desa / LPD, serta dalam jurnal – jurnal internasional di sebutkan atau bernama. ” credit village institution” dan oleh peneliti GTZ Lembaga micro finance global  dari Jerman tahun 2015 , Prof Seibel menyatakan memang sudah terbukti & berkonstribusi positif bahwa Lembaga Perkreditan Desa ini merupakan lembaga keuangan mikro yang tujuan utamanya adalah membantu desa adat dalam menjalankan fungsi-fungsi kultural,” ungkapnya. Dan terdapat kemiripan dengan Gremeen Bank di Banglades.

Jadi perkembangan zaman seperti itu, ungkapnya lagi, Lembaga Perkreditan Desa ini merupakan sesuatu hal budaya yang dilembagakan yakni pertukaran antara modal budaya dan ekonomi sehingga modal budaya ini menjadi mediasi modal sosial dalam ekonomi tersebut. Dengan begitu, Lembaga Perkreditan Desa seperti ini dikecualikan oleh negara sebagai lembaga keuangan mikro tetapi budaya yang ada di Bali dilembagakan sehingga terbentuk lembaga  keuangan mikro tujuan utamanya membantu desa adat dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

Terkait dengan akuntansi yang menjadi panduan Lembaga Perkreditan Desa / LPD, ungkap Rai Mantra, LPD memang telah memiliki alat ukuran secara manajerial keuangan akuntansi camel yang mapan,  ini tapi kinerja sosial perlu dipertimbangkan. Jadi tak hanya cukup dengan Camel, tetapi juga sosial sehingga Camel plus S.

Dia menegaskan, sebagai penganut ekonomi campuran pihaknya memahami di dunia ini tidak mutlak menggunakan satu sistem akuntansi. Dunia ini harus utama ekonomi terpusat ada ekonomi pasar, ekonomi tradisional, terus ada ekonomi campuran, ada juga turunan-turunan  alternatifnya, ada yang sifat sosialis, komunis ada juga ekonomi syariah bagi umat Muslim. Kebudayaan adalah tataran ideologi atau ide / gagasan dan dapat beradaptasi akuntansi adalah memudahkan manusianya untuk mengatur logika materialnya dan memposisikan asetnya untuk kepentingan-kepentingan yang ditentukan tsb.

Dia pun tak lupa mengucapkan selamat atas peluncuran buku akuntansi LPD. Buku ini memberi gambaran supaya kita tidak terombang-ambing lagi dengan sistem akuntansi yang menyebabkan banyak hal yang merugikan LPD serta desa adat secara umumnya, karena adanya perbedaan persepsi masing-masing dan perbedaan persepsi tersebut disebabkan pula belum sepenuhnya dipahami etika bisnis &  identitas yang merupakan roh tata Kelola dari Lembaga Perkreditan Desa / LPD yaitu “HYBRID”. Buku ini pun mampu menjawab tantangan hari ini sampai masa depan, karena konsep pendekatan sang penulis dengan menggunakan konsep Hindhu juga dalam mencari kebenaran / DARSANA dengan pola Tri Semaya , Tri Semaya diartikan sebagai kurun waktu yang digunakan untuk menilai situasi atau keadaan agar dapat mencapai kesimpulan. Maksudnya, apa yang dilakukan saat ini (Wartamana) harus berorientasi pada masa lampau (Atita) dan merumuskan harapan masa depan (Nagata)

Terakhir, kebudayaan itu bukan hanya budaya, konsep ide, dan adaptasi tetapi dia memiliki norma,  nilai serta memiliki basic dari kognitif atau pengetahuan. Fondasi Pengetahuan itulah yang dimaksud untuk membangun Lembaga Perkreditan Desa sebagai cikal bakal para actor-aktor (steakholder) membangun Lembaga Perkreditan Desa / LPD. Dan munculnya Buku Akuntasi Lembaga Perkreditan Desa salah satu wujud nyata dari orang Bali menyadari harga dirinya dalam kancah globalisasi untuk mempertahankan identitasnya, itulah sebutan yang diungkap oleh Prof IB Mantra. Mengutip pernyataan AA Ari Dwipaya mengatakan, Sistem kapitalisme juga memunculkan respon berupa kelembagaan baru yg tdk sepenuhnya adopsi kapitalistik global tapi mengakomodasi tradisi & kepentingan lokal. Shg  muncul lembaga “in between”, yg bekerja dg cara berbeda. Prof Mantra menyebut LPD sebagai perkawinan tradisi dan manajemen modern.

Prof Mantra melihat pentingnya revitalisasi lembaga2 tradisional, reintegrasi dan adaptasi. Inilah strategi kebudayaan yg digagas Prof Mantra utk  berhadapan dgn modernitas. (RED-MB)