Foto: Dwijendra University menggelar seminar secara online yang mengangkat tema “Relevansi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menangkal Radikalisme” pada Jumat (9/7/2021).

Denpasar (Metrobali.com)-

Berbagai fakta dan penelitian yang ada menyebutkan dunia pendidikan seperti perguruan tinggi/kampus menjadi sasaran empuk radikalisme dan jadi tempat membangun jejaring penyebaran paham radikal.

Yang paling berbahaya juga adalah ketika generasi muda acuh dan tidak memahami pola penyebaran radikalisme melalui media sosial (medsos). Akibatnya kalau sudah begitu mereka akan rentan terpapar radikalisme.

Salah satu cara jitu melawan radikalisme dan membentengi bangsa Indonesia dari ancaman radikalisme adalah dengan memegang teguh Pancasila, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Sebab di era saat ini, nilai-nilai Pancasila dianggap masih sangat relevan menjadi benteng yang kuat menangkal radikalisme.

Hal tersebut yang menjadi intisari dari seminar nasional yang digelar Dwijendra University secara online yang mengangkat tema “Relevansi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menangkal Radikalisme” pada Jumat (9/7/2021).

Seminar menghadirkan pembicara Ketua Yayasan Dwijendra Dr. I Ketut Wirawan, S.H. M.Hum., Rektor Dwijendra University  Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc. M.MA.,dan Kaprodi PPKn FKIP Dwijendra University I Gusti Ngurah Santika, S.Pd.,M.Pd. Seminar dipandu moderator I Wayan Eka Santika, S.Pd.,M.Pd., dosen PPKn FKIP Dwijendra University.

Pembicara pertama Ketua Yayasan Dwijendra Dr. I Ketut Wirawan, S.H. M.Hum., menyampaikan Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Pancasila adalah dasar filosofis bagi bangsa Indonesia dalam bernegara.

Pancasila sebagai dasar filosofis ini merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam berbangsa dan bernegara, Pancasila wajib untuk dihayati dan dilaksanakan.

Wirawan menyampaikan rekomendasi bahwa Pancasila harus dikenalkan sejak dini agar pengenalan dan penghayatannya lebih mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.

Pancasila harus menjadi pelajaran wajib dalam setiap jenjang pendidikan baik formal maupun informal.

“Setiap warga negara, terutama juga pejabat, wajib hukumnya tahu pembukaan UUD 1945 yang didalamnya ada Pancasila,” kata Wirawan yang juga mantan Rektor Dwijendra University ini.

Penghatan dan pengalaman nilai-nilai Pancasila ini penting sebab bangsa ini menghadapi ancaman radikalisme dan intoleransi. Sejumlah hasil penelitian menggambarkan betapa bahayanya kondisi saat ini jika Pancasila tidak hadir.

Penelitian dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarief Hidayatullah Jakarta menunjukkan bahwa 63 persen guru memiliki opini intoleran terhadap agama lain.

Tak hanya itu, Ryamizard Ryacudu saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan menyebutkan bahwa sebanyak 3 persen anggota TNI juga terpapar ekstrimisme. Kemudian survei Alfara pada 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 14,9 persen PNS tidak setuju Pancasila.

Berdasarkan Pusat Studi Islam dan Transformasi Sosial (CISFrom) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, 36,5 persen mahasiswa Islam setuju dengan khilafah. Terakhir,  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2018 mengemukakan bahwa tujuh kampus di Indonesia juga terpapar ekstrimisme agama.

Di sisi lain, Kaprodi PPKn FKIP Dwijendra University I Gusti Ngurah Santika, S.Pd.,M.Pd., yang membawakan materi “Ancaman Radikalisme terhadap Relevansi Pancasila di Media Sosial” menyebutkan radikalisme atau paham radikal seringkali dan banyak menyebar lewat media sosial.

“Relevansi Pancasila kian terkikis akibat masifnya penyebaran radikalisme di Indonesia utamanya yang marak melalui media sosial. Sayangnya banyak orang belum memahami bahwa penyebaran radikalisme itu dimulai dari media sosial,” kata Ngurah Santika.

Ia lantas memaparkan alasan kenapa kelompok radikal gencar memanfaatkan media sosial sebagai wahana/media untuk menyebarkan paham radikal/radikalisme secara terstruktur, sistematis dan masif.

Pertama, alasan faktor efektivitas. Media sosial digunakan menyebarkan paham radikal karena memiliki jangkauan luas, mudah dan cepat.

Kedua, alasan faktor efisiensi. Penggunaan media sosial untuk menyebarkan paham radikal juga memiliki keunggulan karena biayanya murah dan terjangkau.

Ketiga, alasan faktor keamanan. Media sosial digunakan menyebarkan paham radikal karena memungkinkan adanya anonimitas dari pihak-pihak atau kelompok radikal yang menyebarkan radikalisme ini.

“Yang paling berbahaya adalah ketika generasi muda acuh dan tidak memahami pola penyebaran radikalisme melalui media sosial. Akibatnya kalau sudah begitu mereka akan rentan terpapar radikalisme,” ujarnya.

Terkait dengan ancaman radikalisme di dunia perguruan tinggi/kampus Rektor Universitas Dwijendra Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., M.M.A., mengajak mahasiswa untuk menolak dan melawan radikalisme dan aksi radikal serta membentengi diri agar tidak terpapar paham radikal bebas.

Di sisi lain isu penanganan Covid-19 saat ini ada yang ditunggangi oleh gerakan kelompok radikal dengan menyerang dan menyalahkan pemerintah serta berupaya menyebarkan paham radikal dengan dalih dan tudingan kegagalan pemerintah menangani pandemi Covid-19.

Dikatakan oleh para kelompok-kelompok radikal dunia pendidikan disasar dan disiagakan jadi kandang penyebaran paham radikal. Karena radikalisme biasanya sasarannya generasi muda, dari siswa SMP, SMA/ SMK hingga mahasiswa perguruan tinggi.

Mahasiswa sering dijadikan sasaran di dalam penyebaran faham radikal (radikalisme) tersebut selain tenaga pendidik, dan pegawai. Oleh karena itu, gerakan radikalisme di perguruan tinggi harus segera dicegah dan diantisipasi secara bersama- sama. Salah satu caranya dengan memegang teguh Pancasila, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Terlebih radikalisme masuk dengan cara-cara halus, terstruktur dan sistematis. Tanpa disadari mahasiswa terpapar radikalisme, menyebarkan dan membentuk jaringan yang semakin luas.

“Radikalisme ini masuk ke sel-sel kampus, menyusup ke kegiatan kemahasiswaan. Ini yang harus kita cegah, filter dan lawan dengan memegang teguh Pancasila, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila,” ajak Gede Sedana.

Belakangan juga mencuat isu meningkatnya benih-benih paham radikalisme di dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Gejala radikalisme mulai terlihat dengan adanya pernyataan sikap mahasiswa dari perguruan tinggi tertentu yang secara terbuka mendukung kelompok radikalisme.

Kondisi parah dan bahaya ini juga tampak dari kajian BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) bahwa sebanyak 39 persen mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia yang menjadi responden survei  BNPT  terindikasi tertarik pada paham radikal.

“Kondisi-kondisi seperti ini harus jadi perhatian kita bersama agar dunia pendidikan bebas dari penyebaran paham radikal,” tegas Gede Sedana.

Gede Sedana kembali menegaskan yang penting dan ampuh juga sebagai filter terhadap radikalisme adalah penguatan pemahaman, penghayatan dan pengimplementasian nilai-nilai luhur Pancasila. “Pancasila sebagai dasar dan muaranya kalau kita ingin kuat dan terhindar dari paham radikal,” kata Gede Sedana.

Pancasila harus dijadikan dasar dan muara dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya perguruan tinggi harus memperkuat kurikulum yang mengandung muatan agama, budi pekerti, pendidikan moral Pancasila, kebangsaan, dan wawasan nusantara untuk membangun karakter mahasiswa.

“Harus ada role model dan role play mengamalkan nilai-nilai Pancasila,” tegas Gede Sedana.

Di kalangan mahasiswa, membumikan Pancasila memerlukan adanya metode pembelajaran yang menarik guna lebih mudah untuk dipahami dan diimplementasikan (bukan sekedar hapalan).

Metode pembelajaran yang dimaksud adalah suatu cara penyajian materi pendidikan/ pelatihan kepada maha siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran (learning outcome. Dosen lebih dituntut untuk menjadi fasilitator, inisiator, motivator, problem solver. (wid)