Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)

Kemandirian Bali nyaris sebuah ilusi. Karena desentralisasi kebijakan yang sedang berlangsung, arus balik terhadap pilihan politik Otonomi Daerah yang merupakan karya politik, gerakan Reformasi, 26 tahun lalu. UU Cipta Kerja tahun 2020, contoh nyata dari desentralisasi.

Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat pembangunan Bali, Intelektual Hindu, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali. Anggota MPR RI Utusan Daerah Bali, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004.

Dikatakan, demokrasi prosedural yang berlangsung, melahirkan kolusi pemerintah dan DPR, dan lapisan kekuasaan di lapisan bawah sampai provinsi dan kabupaten, kota, melahirkan demokrasi “seolah-olah”, yang membajak kepentingan rakyat, sehingga inovasi dan kreativitas masyarakat mengalami hambatan. Proses kemandirian masyarakat terhalang.

Menurutnya, kemampuan loby, DPR, DPD, DPRD sangat terbatas, kalau tidak mau dikatakan sangat lemah, dalam negosiasi dengan kepentingan Jakarta, kepentingan resmi, maupun “vested interest” di seputar kekuasaan, untuk kepentingan ekonomi rente bagi diri dan kelompoknya.

Dikatakan, memperkuat kembali Otonomi Daerah, kemandirian Bali dari ilusi menjadi mungkin.

Menurutnya, perlu ada keberanian dan kecerdasan dari Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, melakukan “orkestrasi” terhadap kepentingan Bali, melalui sinergi dengan: DPR dan DPD Bali.

Dikatakan, kemampuan efektif dalam kepemimpinan dan koordinasi dengan DPRD Bali, Bupati, Wali Kota dan DPRD tingkat dua.

“Berjuang mengembalikan otonomi daerah, kembali ke rokhnya, sejalan dengan semangat reformasi,” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, Bali memerlukan pemimpin, apa yang disebut Indonesianist Herbert Faith, Solidarity Maker, pembangun solidaritas, yang berakar kuat di masyarakat, sehingga tidak mudah didikte oleh kepentingan Jakarta, dengan segala variannya.

Dikatakan, Otonomi Khusus untuk Bali.
Merujuk draft akademik yang disusun oleh DPRD Bali sebelumnya, yang telah menerima masukan dari berbagai “stake holders”, dengan anggaran Rp.4,5 M, yang perlu diperbaiki, disempurnakan sejalan dengan dinamika perubahan Desa, Kala, Patra.

Menurutnya, Wacana Otonomi Khusus, dengan prinsip dasar pemikiran, Otonomi Khusus bukanlah panasea “obat” cespleng terhadap aneka rupa persoalan dan penyakit sosial kemiskinan, pengangguran, ketimpangan sosial ekonomi, rusaknya alam, ketidak-seimbangan hubungan Pusat – Daerah, terpinggirkan masyarakat.

Dikatakan, Belajar dari pengalaman Aceh dan Papua, dengan Otonomi Khusus, dana besar digelontorkan, tetapi provinsi Aceh sampai hari ini, provinsi dengan penduduk termiskin terbanyak di Sumatra.

“Demikian juga untuk Provinsi – Provinsi di Papua. Tuntutan untuk merdeka tanpa jeda berlangsung di Tanah Papua yang amat sangat SDA,” katanya.

Menurutnya, pemikiran intelektual Bali yang visioner, berbasis fakta yang membumi, sebut saja: bunga rampai pemikiran intelektual ternama Bali, yang terangkum dalam buku ” Baliku Sayang, Baliku Malang, Potret Otokritik Pembangunan Bali Satu Dasa Warsa (1990’an), pemikiran holistik Prof.A Manuaba

” Pembangunan Bali Berkelanjutan -Bali Sustainable Development, Daya Dukung Bali – Bali ‘s Carying Capasity-, mesti disimak dan dipelajari kembali, oleh generasi Bali kini,” katanya. (Sutiawan).