Foto: Suasana diskusi publik yang digagas oleh Pusat Studi Undiknas (PSU) bekerja sama dengan Billy Mambrasar, yang merupakan CEO & Founder Containder sekaligus Staf Khusus Presiden RI periode 2019–2024.

Denpasar (Metrobali.com)-

Komitmen untuk membangun Bali secara berkelanjutan kembali digaungkan melalui gelaran Public Discussion yang diselenggarakan pada Sabtu, 26 April 2025 di Puri Setyaki, Jalan Setyaki No. 9, Denpasar. Acara ini digagas oleh Pusat Studi Undiknas (PSU) bekerja sama dengan Billy Mambrasar, yang merupakan CEO & Founder Containder sekaligus Staf Khusus Presiden RI periode 2019–2024.

Diskusi yang dihadiri oleh kalangan akademisi, mahasiswa, tokoh masyarakat, dan pelaku komunitas ini berfokus pada empat pilar utama pembangunan yakni pendidikan, lingkungan, ekonomi, dan ketahanan pangan.

Billy Mambrasar hadir sebagai pembicara utama, membawakan materi tentang bagaimana cara membangun Bali melalui sektor Pendidikan, Lingkungan, Ekonomi, dan Ketahanan Pangan. Pembicara kedua Dr. Gung Tini Gorda, Kepala Pusat Studi Undiknas (PSU), yang menekankan pentingnya kolaborasi antara aktivis, pemerintah, dan masyarakat dalam membangun Bali yang lebih baik.

 

Melalui spirit sinergi Pang Pade Payu, berbagai hasil nyata telah dicapai di sejumlah sektor. Di sektor ekonomi dan lingkungan, telah sukses dilaksanakan program pemberdayaan UMKM serta kegiatan bersih-bersih di Pantai Jerman, Kuta, Badung.

Di sektor pendidikan, telah lahir program beasiswa bagi warga binaan Lapas Perempuan Kelas II A Kerobokan, Denpasar, untuk kuliah sampai jenjang S1 di STIE Satya Dharma Singaraja. Sementara itu, di sektor ketahanan pangan, telah dilakukan penanaman padi sehat bersinar di Desa Kendran, Gianyar, serta peluncuran produk Beras Sehat Bersinar.

Diskusi ini dimoderatori oleh I Gusti Ngurah Widya Hadi Saputra, S.M., MSM, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undiknas, dan berlangsung dinamis dengan sesi tanya jawab antara peserta dan narasumber.

Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya PSU dalam memperkuat peran perguruan tinggi sebagai motor perubahan sosial dan pusat gagasan strategis untuk pembangunan Bali yang berkeadilan dan berwawasan lingkungan.

Narasumber pertama, Billy Mambrasar, S.T., B.Sc., MBA., EdM, CEO & Founder Containder dan sekaligus Staf Khusus Presiden RI 2019–2024, menekankan pentingnya pendekatan pembangunan yang berbasis budaya. Ia menyampaikan aspirasi kepada pemerintah pusat dan daerah agar pembangunan tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi dalam sektor-sektor seperti manufaktur, teknologi, atau pariwisata resort, melainkan tetap menghormati hak-hak adat masyarakat asli, baik di Bali maupun di daerah lain seperti Papua.

Billy menyoroti bahwa pembangunan nasional harus berbasis pada pelestarian budaya, dan negara wajib memastikan masyarakat asli dapat mempertahankan tradisi serta hak-haknya. “Banyak persoalan ketahanan pangan, pendidikan, dan lingkungan sebenarnya dapat diatasi dengan kembali merujuk pada nilai-nilai budaya lokal,” ujarnya.

Sebagai contoh, ia mengaitkan berkurangnya suplai pangan di Bali dengan konversi lahan pertanian menjadi area wisata seperti hotel dan vila, yang mengakibatkan menurunnya produksi beras dan padi lokal.

Billy juga menegaskan pentingnya prioritas pembangunan budaya dibandingkan sektor lainnya. Ia mendorong adanya perda yang kuat serta dukungan legislasi, termasuk undang-undang otonomi daerah yang lebih jelas untuk perlindungan adat dan budaya Bali. Ia mengajak anggota DPR RI dan DPD RI dari Bali untuk memperjuangkan perlindungan hak-hak masyarakat asli di tingkat nasional.

Dalam paparannya, Billy juga mengkritik kecenderungan pemerintah pusat yang masih menghomogenisasi konsep pertumbuhan ekonomi dari Sabang sampai Merauke tanpa mempertimbangkan keragaman budaya di setiap daerah.

“Jika pertumbuhan ekonomi hanya didefinisikan sebatas angka, seperti mengejar target 8% tanpa mempertimbangkan nilai budaya, maka banyak kekayaan lokal akan terkorbankan, termasuk sawah-sawah di Bali yang beralih fungsi menjadi vila atau hotel yang mengabaikan nilai-nilai kesakralan setempat,” katanya mengingatkan.

Oleh karena itu, Billy menyerukan perlunya redefinisi konsep pertumbuhan ekonomi di Indonesia agar tidak mengorbankan jati diri budaya Nusantara, serta mendesak semua pihak, termasuk Bappenas dan pemerintah daerah, untuk lebih mengutamakan pelestarian budaya dalam setiap agenda pembangunan.

Narasumber kedua, Dr. Gung Tini Gorda yang merupakan Kepala Pusat Studi Undiknas (PSU) menekankan pentingnya kolaborasi antara aktivis, pemerintah, dan masyarakat dalam membangun Bali yang lebih baik. Ia menggarisbawahi bahwa spirit sinergi Pang Pade Payu masih sulit diwujudkan secara ikhlas, baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat sipil.

Gung Tini Gorda mengungkapkan bahwa banyak aktivis yang, setelah masuk ke pemerintahan, mengalami perubahan semangat dalam berkolaborasi. Ia menilai bahwa para aktivis seharusnya tidak dipandang sebagai pihak yang mengganggu atau meminta keuntungan finansial, melainkan sebagai mitra strategis yang membawa konsep dan gagasan program untuk diintegrasikan dengan program pemerintah yang sudah ada.

Ia juga menyoroti permasalahan konkret seperti sampah, ketahanan pangan, dan pendidikan di Bali, yang menurutnya bisa lebih cepat diselesaikan jika kolaborasi antar lembaga, termasuk dengan 64 perguruan tinggi swasta yang ada di Bali, diperkuat. “Bila perguruan tinggi swasta diberdayakan bersama dengan sembilan kabupaten/kota di Bali, berbagai persoalan pendidikan seharusnya dapat diatasi dengan lebih efektif,” ujar tokoh perempuan dan tokoh pendidikan Bali itu.

Melalui spirit sinergi Pang Pade Payu, PSU tidak hanya menjalankan program-program seremonial, tetapi juga bergerak dalam program fundamental, seperti pendidikan formal untuk warga binaan perempuan di Lapas Perempuan Kelas II A Denpasar. Para warga binaan tersebut diseleksi untuk kemudian diberikan kesempatan melanjutkan pendidikan hingga jenjang S1 di STIE Satya Dharma Singaraja, sebagai upaya untuk memulihkan martabat dan memperbesar peluang mereka setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.

Dalam bidang lingkungan, PSU berupaya melahirkan ecopreneurs, yaitu pelaku usaha yang mampu meraih keuntungan tanpa mengeksploitasi alam. Langkah ini dipandang penting untuk membangun Bali sebagai pusat ekonomi hijau yang berkelanjutan.

Gung Tini Gorda juga menyoroti pentingnya keterwakilan orang Bali di tingkat pusat. Menurutnya, kehadiran figur Bali di pusat pemerintahan menjadi kunci dalam memperjuangkan regulasi yang lebih berpihak pada kearifan lokal dan kebutuhan nyata masyarakat Bali.

Melalui kiprahnya sebagai Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Bali, Gung Tini Gorda menggagas program untuk mendorong Bali menjadi pusat ekonomi hijau, salah satunya melalui pertanian berbasis beras sehat pribumi. Program ini mengedepankan perubahan pola pikir petani dari penggunaan pupuk kimia ke pupuk organik, meski diakui bahwa penerapan 100% organik masih menghadapi tantangan di lapangan.

Gung Tini Gorda kemudian menyampaikan bahwa forum diskusi ini diharapkan mampu melahirkan rekomendasi konkret dari PSU Undiknas untuk mendukung upaya pembangunan Bali. Ia menekankan pentingnya aksi nyata yang langsung menghubungkan hasil diskusi dengan tingkat pusat, memanfaatkan jejaring yang ada tanpa perlu melewati prosedur yang berbelit-belit.

Suasana diskusi publik tentang pembangunan Bali semakin hidup saat para peserta aktif memberikan masukan, kritik, dan saran. Salah satu peserta, Dr. Dewa Ayu Laksmiadi Janapriati, selaku Asisten Deputi Pembangunan Manusia Kebudayaan dan Pemberdayaan Masyarakat dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, menyampaikan berbagai keprihatinan mendalam terkait arah pembangunan Bali.

Ia menyoroti alih fungsi lahan yang masif di Bali, dengan ratusan hektare tanah yang beralih fungsi setiap tahunnya. Ia juga menyoroti fenomena banyaknya anak muda Bali yang memilih bekerja di luar negeri, seperti di kapal pesiar, karena faktor upah yang lebih tinggi dibandingkan di daerah asal mereka. Akibatnya, sektor perhotelan dan hospitality di Bali kini kesulitan mendapatkan tenaga kerja lokal, sehingga banyak pihak dari luar Bali yang mengisi kebutuhan tersebut.

Lebih lanjut, Dewa Ayu Laksmiadi mengingatkan pentingnya menjaga budaya Bali di tengah gencarnya pembangunan ekonomi. Ia mengutip pesan penting dari tokoh nasional, bahwa budaya tidak boleh digadaikan hanya demi mengejar devisa.

Dalam pandangannya, justru kehancuran budaya Bali lebih banyak berasal dari sikap abai masyarakatnya sendiri, bukan dari faktor luar. Menurutnya, generasi muda perlu kembali kepada akar budaya, karena DNA masyarakat Bali adalah budaya, bukan industri atau teknologi modern semata.

Dewa Ayu Laksmiadi juga mengkritik mentalitas generasi strawberry yang cenderung mudah menyerah dan terlalu selektif dalam memilih pekerjaan, tanpa melakukan introspeksi terhadap kemampuan diri. Ia menyerukan pentingnya membangun kembali semangat gotong royong, saling mendukung, dan memperkuat forum-forum rembuk untuk mengatasi berbagai persoalan di Bali secara bersama-sama.

Sementara itu, Dr. Nyoman Sedana selaku Kepala Pusat Kajian Sosial, Komunikasi dan Budaya Undiknas, mengungkapkan pandangannya terkait tantangan besar yang tengah dihadapi Bali, terutama dalam isu alih fungsi lahan dan kesadaran lingkungan.

Dr. Sedana mengingatkan bahwa alih fungsi lahan di Bali saat ini sulit dibendung, yang tidak terlepas dari kebijakan sistem OSS (Online Single Submission) yang dibangun oleh pemerintah sebelumnya. Meski sistem ini bertujuan positif, yaitu untuk mengurangi praktik pungutan liar, di sisi lain ruang relasi kekuasaan tetap muncul, sehingga pengawasan terhadap pembangunan menjadi lemah. Akibatnya, pembangunan spektakuler dapat muncul tanpa pengawasan yang memadai.

Ia juga menyoroti sulitnya mendorong generasi muda Bali untuk terjun ke dunia pertanian. Menurutnya, secara sosial profesi petani masih dipandang rendah, dan tanpa adanya bukti bahwa bertani dapat memberikan dampak ekonomi yang kuat, minat generasi muda akan tetap rendah.

Dalam aspek pembangunan ekonomi, Dr. Sedana menyebut bahwa konsep ekonomi sirkular sangat menarik untuk diterapkan di Bali. Ia melihat Kabupaten Badung sebagai wilayah potensial untuk menjadi motor penggerak ekonomi sirkular di Bali, mengingat tingkat pendidikan dan pertumbuhan ekonominya yang relatif tinggi. Menurutnya, penerapan ekonomi sirkular dapat membantu mengatasi persoalan lingkungan seperti pengelolaan sampah.

Ia mengingatkan bahwa sampah bukanlah barang yang tidak bernilai. Jika dikelola dengan baik, sampah justru dapat memiliki nilai ekonomi yang signifikan.

Ketua DPC HIPPI Buleleng, Alfrieds Agustinus, mengusulkan pembentukan sebuah koalisi lingkungan untuk merespons berbagai isu lingkungan yang kian mendesak di Bali. Ia menilai, keterbatasan masyarakat dalam menyalurkan aspirasi terkait masalah lingkungan memerlukan adanya jembatan antara masyarakat dan pemerintah.

Melalui pembentukan koalisi lingkungan, diharapkan berbagai kelompok masyarakat, dunia usaha, dan dunia pendidikan yang selama ini bergerak secara individu dapat bersatu dan merumuskan langkah bersama. Koalisi ini diharapkan mampu mengidentifikasi kekurangan yang ada serta menyelaraskan gerakan masyarakat dengan program-program yang disiapkan pemerintah dalam menangani isu lingkungan.

Koalisi ini juga dipandang sebagai sarana untuk menampung aspirasi sekaligus menawarkan solusi nyata terhadap persoalan-persoalan lingkungan di Bali, seperti masalah pengelolaan sampah yang hingga kini belum terselesaikan.

Alfrieds juga mendorong agar para pemangku kebijakan lebih aktif berkomunikasi dengan masyarakat. Ia menilai bahwa saat masa reses, wakil rakyat seharusnya lebih fokus mendengarkan masukan yang benar-benar relevan, bukan hanya menyenangkan konstituen. Koalisi lingkungan, menurutnya, justru dapat membantu menyempurnakan program-program pemerintah serta meningkatkan efektivitas penyerapan anggaran.

Anak Agung Ayu Rai Wahyuni dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNUD mengatakan, penguatan adat di desa-desa Bali Aga, seperti di Tenganan Pegringsingan, menjadi contoh nyata bagaimana tradisi dan budaya tetap lestari di tengah derasnya arus globalisasi. Masyarakat di desa ini menjaga eksistensi mereka melalui penerapan awig-awig dan perarem, yang berfungsi sebagai aturan adat untuk memperkokoh identitas budaya.

Dalam konteks yang lebih luas, penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk kembali menyadari bahwa budaya merupakan fondasi utama dalam kehidupan berbangsa. Perbedaan budaya harus dihargai tanpa adanya hegemoni dari budaya mayoritas, karena semua budaya dan suku bangsa memiliki peran penting dalam membangun persatuan nasional.

Gung Wahyuni menambahkan, sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bali telah memiliki tokoh-tokoh yang memperjuangkan pengakuan atas budaya yang beragam, salah satunya adalah Mr. I Gusti Ketut Pudja dari Singaraja yang kini diakui sebagai pahlawan nasional. Perjuangan tokoh-tokoh ini menjadi pengingat bahwa budaya adalah pilar yang memperkokoh NKRI.

Khusus di Bali, kekuatan adat yang dijaga oleh masyarakat Bali Aga terbukti menjadi kunci keberlangsungan budaya di tengah modernisasi. Penguatan fondasi budaya ini dinilai krusial untuk mencegah runtuhnya kesatuan bangsa di masa depan.

Berikutnya, Armytanti Hanum Kasmito dari Coca-Cola Euro Pacific Partners (CCEP) Indonesia menyatakan bahwa upaya membangun koalisi lingkungan sebenarnya sudah dimulai sejak tahun lalu melalui inisiatif Circular Economy Forum di Badung, bekerja sama dengan PSU. Forum ini mengundang berbagai industri untuk membahas pembagian peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan.

Armytanti menilai bahwa sejak pergantian kepemimpinan nasional, posisi industri dalam hubungan dengan pemerintah kerap terasa tidak setara, di mana industri lebih sering menjadi objek kebijakan ketimbang mitra sejajar. Salah satu contoh adalah penerapan Permen 75 Tahun 2019 terkait tanggung jawab produsen dalam pengelolaan kemasan, yang telah direspon Coca-Cola dengan langkah konkret.

Dalam pelaksanaan pengumpulan kemasan ini, CCEP tidak membedakan merek, melainkan mengumpulkan semua kemasan plastik sesuai ketentuan pelaporan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, tantangan besar muncul akibat kurangnya harmonisasi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Salah satu contoh ketimpangan ini adalah implementasi Surat Edaran Gerakan Bali Bersih Sampah yang melarang distribusi air minum dalam kemasan plastik di bawah satu liter.

Armytanti menyoroti bahwa industri tidak diwajibkan melapor ke pemerintah daerah, melainkan ke KLHK. Namun, ketika industri berusaha melapor ke daerah, sering kali dipersepsikan sebagai upaya menawarkan program CSR, bukan sebagai laporan kontribusi terhadap pengelolaan lingkungan.

Dalam kaitannya dengan budaya lokal, Armytanti mengakui pentingnya mengikuti aturan daerah di Bali, termasuk menghormati perarem, awig-awig, dan hari libur adat. Namun, perusahaan juga mengingatkan bahwa penguatan budaya harus disertai pemahaman terhadap konsekuensi ekonomi, seperti terbatasnya ruang untuk ekspansi manufaktur akibat regulasi daerah. Peraturan gubernur (Pergub) dinilai kurang melibatkan kajian akademik dan partisipasi publik dibandingkan dengan peraturan daerah (Perda).

Selanjutnya Wayan Widana dari media menyoroti Surat Edaran (SE) Gubernur Bali mengenai larangan penggunaan kantong plastik, kemasan plastik, dan air minum dalam kemasan di bawah satu liter. Ia mengingatkan dampak kebijakan ini khususnya bagi para pelaku UMKM lokal.

Kepala Kajian Teknik Undiknas, I Wayan Sugarayasa, ST., MT, mengapresiasi kegiatan Public Discussion yang diinisiasi oleh Pusat Studi Undiknas (PSU). Ia menilai diskusi tersebut sangat penting karena membahas keberlanjutan Pulau Bali dan masyarakatnya, dengan menekankan bagaimana orang Bali dapat menjadi teladan di luar daerah.

Sugarayasa menyoroti masih banyaknya hal-hal yang perlu diperhatikan oleh masyarakat Bali, terutama dalam pendidikan budaya kepada generasi muda. Menurutnya, kemajuan teknologi telah membawa perubahan besar pada karakter anak-anak saat ini, yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak-anak agar tetap berpegang pada nilai-nilai budaya Bali.

Selain itu, Sugarayasa berharap agar orang-orang Bali yang telah sukses dan menduduki posisi penting di luar daerah dapat lebih memperhatikan perkembangan di Bali. Ia menegaskan bahwa masyarakat Bali siap melakukan apa yang perlu untuk menjaga budaya dan keberlanjutan daerahnya, namun membutuhkan perhatian dan dukungan dari mereka yang berada di posisi strategis.

Hal senada juga disampaikan oleh Lili Anita dari Perempuan ICMI Provinsi Bali. Ia memberikan tanggapan positif terhadap Public Discussion bertema membangun Bali melalui sektor pendidikan, lingkungan, ekonomi, dan ketahanan pangan. Menurutnya, kegiatan ini sangat penting, terutama dalam memperhatikan sektor pendidikan, mengingat banyaknya perguruan tinggi swasta di Bali.

Lili Anita menegaskan bahwa Perempuan ICMI mendukung penuh program satu keluarga satu sarjana, sejalan dengan program induk ICMI. Selain itu, di bidang lingkungan hidup, Perempuan ICMI juga aktif menjalankan program-program seperti Reduce, Reuse, dan Recycle (R3) untuk menjaga kelestarian lingkungan Bali.

Ia juga menekankan pentingnya pembangunan yang tetap mempertahankan budaya lokal serta memperhatikan keberagaman budaya dan agama di Bali. Menurutnya, pembangunan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak elemen budaya, seperti sistem pertanian tradisional Subak.

Bujangga Pidada dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undiknas menilai bahwa hasil diskusi yang dilakukan mengungkap sejumlah poin penting yang perlu dijadikan kajian dan disampaikan kepada pemerintah. Namun, berdasarkan pengalamannya, berbagai permasalahan di Bali terus berulang, sehingga diperlukan upaya tidak hanya dalam bentuk diskusi, tetapi juga tindakan konkret untuk mendorong pemerintah agar lebih responsif.

Menurut Bujangga, upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah menggulirkan bola salju isu-isu tersebut hingga mencapai pintu eksekutif, khususnya di tingkat Provinsi Bali. Ia menekankan bahwa masalah lingkungan menjadi persoalan paling mendesak di Bali saat ini, diikuti dengan persoalan ekonomi. Ekonomi, menurutnya, memiliki keterkaitan erat dengan pendidikan dan ketahanan pangan di Bali.

Selain itu, Bujangga menegaskan bahwa alih fungsi lahan menjadi salah satu persoalan besar yang terus terjadi di Bali, dengan ratusan hektare lahan beralih fungsi setiap tahunnya tanpa solusi yang jelas. Ia mengkritisi sikap pemerintah yang dinilai cenderung menutup mata terhadap masalah ini.

Kadek Danuarta dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STIE Satya Dharma Singaraja menyampaikan bahwa hasil diskusi publik bertema membangun Bali lewat sektor pendidikan, lingkungan, ekonomi, dan ketahanan pangan sangat bermanfaat, terutama bagi kalangan muda dan mahasiswa. Ia merasa narasumber yang hadir dalam diskusi tersebut sangat menginspirasi dan memperkaya wawasan.

Ia berharap, ke depannya, diskusi seperti ini dapat mendorong para remaja dan generasi muda untuk terus menjaga tanah Bali dengan tetap melestarikan budaya lokal.

Moderator sekaligus Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Undiknas, I Gusti Ngurah Widya Hadi Saputra, menyampaikan kesimpulan atas jalannya diskusi publik yang diinisiasi oleh Pusat Studi Undiknas (PSU). Ia menilai diskusi ini sangat menarik karena mengangkat pentingnya sinergitas dan harmonisasi, baik di tingkat masyarakat daerah maupun pemerintahan pusat, dalam menyusun strategi dan kebijakan untuk membangun Bali yang berkelanjutan.

Menurutnya, upaya pembangunan ini harus berlandaskan pemahaman terhadap akar budaya yang mencerminkan jati diri dalam bernegara dan bermasyarakat. Ia juga menyoroti persoalan sampah plastik, yang dinilai perlu dikendalikan dengan mencari solusi terbaik, bukan sekadar dikeluarkan dalam bentuk surat edaran yang justru menimbulkan kegaduhan tanpa memberikan solusi konkret.

Gung Hadi menegaskan perlunya kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan, baik di tingkat masyarakat maupun pemerintah, untuk mengatasi persoalan sampah plastik. Ia meyakini bahwa peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan plastik serta pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular harus terus digaungkan agar memberikan manfaat nyata bagi keberlanjutan Bali.

Public Discussion ini menjadi titik tolak baru bagi semua elemen, dari akademisi hingga dunia usaha, untuk bersinergi menjaga kelestarian alam, budaya, dan kesejahteraan Pulau Dewata di masa depan. Kolaborasi nyata lintas sektor, serta penguatan kesadaran masyarakat penting digaungkan demi mewujudkan Bali yang berkelanjutan dan berkeadilan. (dan)