Pusat Kebudayaan Bali “PKB” di Klungkung, Dewa Kayonan PSI Khawatirkan Seniman dan Masyarakat Klungkung Hanya Jadi Penonton, Dorong Pemda Lakukan Ini
Foto: I Dewa Gede Alit Saputra yang akrab disapa Dewa Kayonan maju sebagai Caleg DPRD Klungkung. Kiprahnya dalam pelestarian budaya tidak diragukan lagi lewat Sanggar Kayonan di Klungkung.
Klungkung (Metrobali.com)-
Terkait misinya untuk lebih menggaungkan seni budaya dan bagaimana ekpektasinya dengan keberadaan Pusat Kebudayaan Bali (PKB) di Klungkung, tokoh seniman dan budayawan Klungkung I Dewa Gede Alit Saputra yang akrab disapa Dewa Kayonan yang juga Ketua DPD Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Klungkung ini memiliki kekhawatiran bahwa seniman-seniman asal Klungkung akan menjadi penonton di rumahnya sendiri. Sebagai tokoh seniman, Dewa Kayonan juga mengaku tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan apapun, baik secara formal maupun informal.
“Walaupun Pusat Kebudayaan Bali ini milik semua, paling tidak yang namanya tuan rumah itu tidak menjadi penonton di daerahnya sendiri. Saya khawatirnya dengan pembangunan begitu besar, modernisasi, kemudian kita tidak tahu managementnya seperti apa,” kata Dewa Kayonan mengungkapkan kekhawatirannya.
“Jangan-jangan saya sendiri sebagai seniman, kemudian yang sampai saat ini juga sebagai Ketua Listibiya dilupakan. Sampai sekarang, saya pribadi tidak pernah terlibat dalam pembahasan apapun, baik secara formal maupun informal,” ungkap Dewa Kayonan yang dipercaya sebagai Ketua Umum Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Kabupaten Klungkung, Bali, masa bhakti 2020-2025 ini.
Dewa Kayonan kemudian mendorong pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan para seniman Klungkung. Paling tidak sekian persen seniman-seniman Klungkung dilibatkan dalam program apapun yang dilaksanakan di PKB.
“Dengan ini, saya ingin mengutip, ingin pemerintah mulai sekarang, masalah seniman, eksistensi seniman, kebudayaan di Kabupaten Klungkung karena kompleksitas pembangunan itu disediakan di sana, harus diperhatikan mulai sekarang, termasuk kesejahteraannya,” kata pendiri Sanggar Kayonan yang beralamat di Desa Adat Kemoning, Kelurahan Semarapura Klod, Klungkung, Bali ini didirikan pada tanggal 8 Juni 1992 yang artinya kini sudah berusia 31 tahun ini.
“Karena keterlibatan mereka di pembangunan itu, atau pengisian di program-program apapun, dan sedang direncanakan, paling tidak, sekian persen orang-orang Klungkung ini harus terlibat, karena ada di dalamnya. Karena sekaligus untuk memantau mengawasi dan juga bagian dari kesejahteraan itu,” imbuh politisi PSI yang tarung maju sebagai Caleg DPRD Klungkung dari Dapil Kecamatan Klungkung pada Pemilu 2024 ini.
Dewa Kayonan mengatakan jika terus diam maka Klungkung ini akan dianggap sebelah mata. Pemerintah juga didesak untuk lebih jeli mulai sekarang. Inilah yang memotivasi Dewa Kayonan untuk maju nyaleg ke DPRD Klungkung dan menyuarakan aspirasi para seniman di Klungkung dan memperjuangkan kesejahteraan mereka.
“Nah itu lah motivasi saya, tidak saja dalam rangka PKB, jauh sebelumnya, sebelum di rencanakan ini, saya menghayal bagaimana saya bisa ikut di legislatif untuk menyuarakan apapun tentang seniman, tentang budayawan dan kesejahteraannya. Ini yang belum diperjuangkan. Karena itu yang memicu dan memacu semangat untuk ikut berkontestasi.
Bercerita sedikit ke belakang sebelum pembangunan Pusat Kebudayaan Bali dimulai, Dewa Kayonan mengatakan bahwa dirinya terlibat dalam diskusi awal membahas pembangunan Pusat Kebudayaan Bali tersebut dilakukan di atas lahan ex galian C Gunaksa.
Pembahasan tersebut dibahas di dalam sebuah program dialog stasiun TV di Bali, dimana saat itu Dewa Kayonan berdebat dengan Professor Bandem. “Awalnya ada keinginan, Pusat Kebudayaan Bali mau dibangun di Peninsula, kira-kira di Nusa Dua. Karena pertimbangan agak sepi. Kemudian saya melihat, ketika ada ide, gagasan bahwa salah satu ini pernah menyatakan isu di bangunnya di Gunaksa, saya kembali mengingatkan itu. Kenapa harus di Peninsula? Kenapa tidak di Gunaksa?,” kenangya.
Dewa Kayonan saat itu juga telah memaparkan alasannya memilih Gunaksa sebagai tempat dibangunnya PKB. Karena menurutnya cikal bakal kesenian yang berkembang di Bali ada di Kabupaten Klungkung. Jadi sudah seharusnya masa kejayaan seni tersebut dikembalikan ke Gumi Serombotan.
“Cikal bakal awal adanya kesenian, seni budaya yang berkembang Bali, sekarang ini khususnya yang moncer di daerah Kabupaten Gianyar, Kodya dan lainnya itu, jangan lupa bahwa pusat aslinya itu lahirnya ada di Klungkung, kemudian menyebar ke daerah Gianyar, dan terus berkembang. Klungkung itu kemudian tidak ada apa-apanya sekarang. Kenapa tidak dikembalikan masa kejayaan itu, dengan menempatkan pembangunan PKB di wilayah Klungkung,” urainya.
Dewa Kayonan menambahkan sebelum akhirnya diputus PKB tersebut dibangun di Gunaksa, Klungkung, sempat ada pertimbangan jarak jika PKB dibangun di Klungkung yang disebutkan terlalu jauh bagi kontingen dari Singaraja dan Negara jika ada pagelaran seni. Padahal menurut Dewa Kayonan jika PKB itu dibangun di Peninsula Nusa Dua, Badung maka jarak tempuh bagi kontingen asal Karangasem juga akan jauh.
“Kalau masalah jarak dipermasalahkan kan sama saja. Bagaimana kalau di Penenisula, yang di Karangasem, kenapa tidak dipikir jauhnya. Selanjutnya secara formal di tingkat pemerintah, tingkat birokrasi, akhirnya benar menjadi kenyataan, di Klungkung ini dibangun Pusat Kebudayaan Bali, entah karena dialog saya yang dikutip, entah memang dari dulu sebelumnya yang saya tidak ketahui memang di Klungkung dikuatkan, biar tidak ada kesan saya ngaku-ngaku,” tuturnya. (wid)