Pungli Sekolah Kian Meresahkan: Tak Ada Sanksi, Orangtua Siswa Menjerit
Denpasar (Metrobali.com)-
Sejatinya pemerintah telah berupaya menyediakan pendanaan untuk biaya operasional nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar dan menengah sebagai pelaksana program wajib belajar (wajar) 12 tahun melalui bantuan operasional sekolah (BOS). Ini juga sekaligus untuk menghapus stigma pendidikan mahal karena dicap hanya untuk kalangan masyarakat mapan atau elite. Sehingga setiap tahun ajaran baru para orangtua siswa tidak selalu menjerit soal mahalnya pendidikan karena maraknya pungutan liar (pungli) di sekolah baik dalam jenjang pendidikan dasar maupun menengah.
Ironisnya, kini justru pendidikan semakin mahal. Ini karena makin maraknya transaksi atau pungutan liar (pungli) yang dilegalkan oleh para pihak terkait dalam satuan pendidikan dasar maupun menengah. Bahkan komite sekolah dan dewan pendidikan sebagai pengontrol transparansi dan akuntabilitas dunia pendidikan, serta sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif) dengan masyarakat disinyalir turut menyuburkan praktik pungli tersebut. Hingga muncul desakan publik untuk membubarkan komite sekolah.
Tak pelak, peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (Permendikbud) No. 60 tahun 2011 tentang soal larangan pungli atas operasional dan investasi sekolah menjadi seperti “macan ompong” yang tak berdaya menghadapi kebijakan otonomi sekolah lantaran adanya PP. No. 17 tahun 2010 tentang fungsi komite sekolah dalam menggalang dana masyarakat demi pembiayaan pendidikan dasar maupun menengah.
Selain itu, alokasi dana BOS dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sesuai PP. No. 48 tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan, biaya nonpersonalia–biaya bahan atau peralatan pendidikan habis pakai–malahan terkesan gagal meringankan biaya pendidikan bagi masyarakat dari keluarga miskin. Pasalnya, dana BOS telah menjadi hibah pendidikan yang sarat masalah korupsi.
Tak hanya itu, dana BOS bahkan menjadikan pemimpin atau kepala sekolah superior yang seolah-olah profesional dalam mengelola keuangan sekolah secara mandiri. Padahal, kepala sekolah tugasnya hanya sebagai penyalur dan bukan sebagai pemilik dana BOS tersebut. Dampaknya, pendidikan gratis dan murah seakan hanya lataran wacana publik belaka. Ini karena keberadaan komite sekolah dan dewan pendidikan tidak mampu membela hak publik di bidang pendidikan secara konkret, tapi malahan turut terjebak kepentingan bagi keuntungan (profit) dari kelompok tertentu.
Ketua Dewan Pendidikan Kota Denpasar, Ir. Rumawan Salain mengakui selama ini telah berupaya maksimal untuk mengkritisi setiap kebijakan pemerintah soal satuan pendidikan dasar dan menengah di Bali dan khususnya Kota Denpasar. Tapi, rupanya kritikan tersebut tidak ditanggapi secara serius. Maka itulah, pungli di sekolah kian meresahkan, dan orangtua siswa pun terus menjerit soal biaya pendidikan mahal lantaran merasa terjebak dalam pusaran kepentingan bagi keuntungan dari kelompok tertentu.
Terlebih lagi, katanya, tidak ada sanksi hukum yang konkret bagi pelaku pungli, karena pungli itu sudah dianggap lumrah dan membudaya. Selain itu, pungli itu dianggp legal karena seolah-olah atas kesadaran sendiri. Jadi sangat sulit untuk menindaknya. Tapi, bukan berarti tidak ada solusi alternatif untuk mengatasi soal maraknya pungli di sekolah. “Intinya, harus ada kemauan dan komitmen bersama dari instansi terkait untuk membela hak publik dalam bidang pendidikan secara bersungguh-sungguh dan berkomitmen kuat mencetak generasi muda emas bangsa yang cerdas, kreatif dan kompetitif,” tegasnya.
Sementara itu, Kadisdikpora Bali, AAN Gde Sujaya mengakui sejatinya telah berupaya maksimal untuk mengatasi soal maraknya pungli di sekolah ketika menjelang tahun ajaran baru setiap tahunnya. Hanya saja, pihaknya tidak dapat berbuat banyak atas adanya otonomi sekolah dalam menentukan kemandirian terhadap penyelenggaraan satuan pendidikan dasar maupun menengah di Bali. Terlebih lagi, seperti biasanya pungli itu terkesan telah dapat restu dan dilegalkan oleh para pihak terkait di sekolah seperti kepala sekolah, dan komite sekolah, serta dewan pendidikan.
Diakuinya, kini pihaknya hanya bersifat sebatas menghimbau saja. Agar setiap sekolah tidak melakukan pungli terutama terkait biaya operasional dan investasi dari orangtua siswa baru. Guna mengikis maraknya pungli di sekolah. Demi menyukseskan program wajar 12 tahun dan biaya pendidikan murah. “Sehingga siswa dari kalangan keluarga miskin tetap mampu menikmati pendidikan yang layak,” ujarnya.
Maka itulah, katanya, pemerintah menyalurkan dana BOS untuk meringankan beban orangtua siswa sekaligus sekolah dalam mencetak generasi emas bangsa yang berkarakter, cerdas, kreatif dan kompetitif. Meskipun memang belum sepenuhnya dapat mengatasi biaya pendidikan baik tingkat dasar maupun menengah. IJA-MB
1 Komentar
Sekolah jembatan budaya membebankan biaya hut sekolah, biaya imlek, biaya jb cup, dll kepada semua siswa dari SD sampai SMA…???????
Huufffft….