PSI Bali Tolak Proporsional Tertutup di Pemilu 2024, Jangan Seperti Beli Kucing Dalam Karung, Hakim MK Diharapkan Gunakan Hati Nurani
Foto: Ketua DPW PSI Bali Nengah Yasa Adi Susanto bersama jajaran pengurus.
Denpasar (Metrobali.com)-
Senada dengan sikap DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), DPW PSI Bali tegas menolak wacana penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Ketua DPW PSI Bali Nengah Yasa Adi Susanto yang akrab disapa Bro Adi menegaskan PSI tidak ingin demokrasi Indonesia mengalami kemunduran.
“PSI tidak ingin demokrasi kita flash back mundur lagi. Ketika proposional terbuka sudah dilakukan sejak tahun 2004 atau pasca reformasi kenapa harus mundur lagi ke tahun 1999,” tegas Bro Adi ditemui usai launching pendaftaran caleg yang berbarengan dengan upacara piodalan Purnama Kapitu di kantor DPW PSI Bali yang beralamat di Jl. Kusuma Bangsa I No. 11 Denpasar pada Jumat 6 Januari 2023.
Untuk diketahui, dalam sistem proporsional tertutup, partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut itu nantinya ditentukan oleh partai politik. Sementara, penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut.
Apabila partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2. Karena rakyat tidak bisa memilih langsung wakil-wakilnya yang duduk di kursi legislatif, maka sistem proporsional tertutup ini disebut kurang demokratis.
Sistem proporsional tertutup diterapkan dalam Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999. Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih bisa memilih langsung Caleg yang akan mewakili mereka di DPR dan DPRD.
Karena pemilih bisa mengetahui sosok Caleg yang akan mewakili mereka, sistem proporsional terbuka dinilai lebih demokratis. Sistem proporsional terbuka mulai diterapkan pada Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Lebih lanjut Bro Adi menjelaskan pihaknya tidak ingin ada jarak antara pemilih dengan calon anggota legislatif. Karena bagaimana pun juga ketika hanya mencoblos gambar partai politik dalam sistem proporsional tertutup, tentu rakyat atau pemilih tidak tahu siapa caleg yang mereka pilih.
“Sedangkan jika masih proporsional terbuka artinya yang dipilih oleh pemilih adalah tokoh-tokoh yang memang mereka gadang-gadang untuk maju mewakili aspirasi mereka sebagai wakil rakyat. Sehingga nantinya tidak ada gap atau jarak antara anggota legislatif dengan pemilih atau konstituennya,” papar Bro Adi yang juga akrab disapa Jero Ong itu.
Politisi PSI asal Desa Bugbug Karangasem ini tidak menampik ketika berbicara mengenai money politic, baik proporsional tertutup maupun terbuka, sama-sama memiliki peluang adanya praktik politik uang. Jika proporsional tertutup money politic-nya, berpeluang bersar terjadi diantara para elit partai politik sedangkan dengan proporsional terbuka, money politic mungkin terjadi di grassroot atau masyarakat.
Bro Adi yang juga seorang advokat ini menekankan pihaknya ingin berdemokrasi dengan baik dimana tetap dipertahankan proporsional terbuka bukan proporsional tertutup. Ketika rakyat hanya memilih dan mencoblos gambar partai politik tanpa mengenal caleg-calegnya maka tentu bisa diibaratkan membeli kucing dalam karung.
“Kita tentu tidak ingin memilih wakil rakyat kita seperti membeli kucing dalam karung. Itu tentu sangat berbahaya untuk demokrasi kita. Mereka tidak tahu siapa yang mereka pilih, tetapi pada akhirnya yang menentukan itu adalah elit partai politik,” ujar Bro Adi.
“Jadi sisi positif dan negatif itu pasti selalu ada. Namun PSI berpikir sisi positif dari proporsional terbuka itu lebih bagus ketimbang proporsional tertutup,” tegas Bro Adi yang juga pengusaha penempatan tenaga kerja PMI (Pekerja Migran Indonesia) ke luar negeri khususnya kapal pesiar ini.
PSI Bali berharap hakim di Mahkamah Konstitusi nanti bisa menolak gugatan para pihak yang meminta pemilu dikembalikan ke sistem proporsional tertutup. Artinya sistem proporsional terbuka agar tetap dipertahankan karena itu yang terbaik sejauh ini.
Seperti diketahui saat ini gugatan UU Pemilu yang sedang berproses di Mahkamah Konstitusi (MK), yang mana penggugatnya meminta mekanisme pemilihan calon anggota legislatif (caleg) diubah dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
“Kami berharap hakim MK nanti memutuskan secara bijak, mau mendengarkan nurani masyarakat dan menolak gugatan para penggungat. Terlebih juga karena penelitian maupun survei-survei yang dilakukan oleh lembaga survei kredibel itu rata-rata diatas 80 persen menginginkan anggota legislatif dipilih langsung oleh pemilih, bukan memilih partainya,” pungkas Bro Adi. (wid)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.