Foto: Luh Gede Ervina Asri Yudiari, Wakil Bendahara DPW PSI Bali.

Denpasar (Metrobali.com)-

Terkait dengan ramainya pemberitaan mengenai MC perempuan yang viral karena dilarang tampil di depan Gubernur Bali, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Provinsi Bali akhirnya buka suara.

Sebagai partai yang konsisten mendukung adanya kesetaraan gender, DPW PSI Bali menginginkan untuk lebih banyak lagi perempuan yang berani keluar dan tampil di depan umum.

“Kami mendukung perempuan bisa berkarya seluas-luasnya tanpa ada pembedaan berdasarkan gender. PSI menjunjung asas meritokrasi tentunya tanpa bias gender,” ungkap Luh Gede Ervina Asri Yudiari, Wakil Bendahara DPW PSI Bali, Rabu (15/9/2021).

Sebelumnya, Ervina sebagai perwakilan pengurus perempuan di DPW PSI Bali berharap kejadian MC perempuan yang sedang ramai diberitakan media ini juga harus diulas dan diberitakan bagaimana kronologi kejadiannya.

“Harus dipastikan perjanjian antara pemberi dan penerima kerja, term and conditions antara penyelenggara dan pendukung acara yang terlibat, terlebih acara tersebut adalah acara formal pemerintahan, tentu ada teknis protokoler yang harus dipahami dan tersampaikan dengan baik. Sehingga semuanya jelas sehingga kejadian tersebut tak perlu terjadi,” imbuh perempuan yang akrab disapa Vina ini.

Gede Ervina Asri Yudiari, Wakil Bendahara DPW PSI Bali, saat bersama Plt Ketua Umum PSI Giring Ganesha.

Pihaknya juga berharap ada klarifikasi dari pihak protokoler Pemprov Bali mengingat biasanya kegiatan-kegiatan yang dihadiri Gubernur tentu ada penjelasan di awal yang disampaikan dari pihak protokol. Jika ternyata memang bersifat diskriminatif, tentu sangat disayangkan dan PSI Bali meminta kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan dapat dihapuskan.

“Kami ingin mendengar penjelasan dari pihak Gubernur, perihal acara yang akan dibawakan oleh MC, ini harus dimintai klarifikasinya, apakah memang ada perintah bahwa MC tidak diperbolehkan tampil? dan kalau tidak diperbolehkan apa alasannya? Jangan sampai ada kebijakan yang membedakan perlakuan terhadap perempuan dan menyulitkan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan” ungkap dara yang berasal dari Tabanan ini.

Jika ternyata kejadian tersebut terjadi karena di luar kesepakatan dan akhirnya merugikan si pembawa acara secara moral, tentu ini sangat disayangkan. Terlebih Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan sudah memberikan ruang bagi perempuan untuk berkarya.

Selain itu, sudah ada Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 tahun 2020 tentang Pengarusutamaan Gender pada pasal 1 ayat 7 berbunyi, Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperolah kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.

“Sudah ada Pergub yang jelas-jelas memberi ruang pada perempuan untuk berkarya.  Jangan sampai yang menandatangani aturan malah tidak mematuhinya,” tegas Ervina.

Ketua DPW PSI Bali, I Nengah Yasa Adi Susanto

 

Sementara itu Ketua DPW PSI Bali, I Nengah Yasa Adi Susanto menekankan bahwa UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah mengatur mengenai kesetaraan gender dengan mengikuti prinsip persamaan hak dalam segala bidang, maka baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak atau kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjelaskan adanya pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali.

“Prinsip persamaan ini menghapuskan diskriminasi, karenanya setiap warga negara mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, dan golongan. Tentu hal ini harus sangat diperhatikan,” tegasnya politisi asal Desa Bugbug, Kabupaten Karangasem ini.

Selain itu dalam Pasal 38 UU 39/1999 juga telah dijabarkan bahwa setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat- syarat ketenagakerjaan yang adil. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.

“Kami sangat menyayangkan terjadi hal tersebut apalagi jika sudah ada perjanjian kerja yang jelas. Jika memang ada permintaan khusus dengan alasan tertentu menurut saya juga tidak elok karena hal tersebut terkesan diskriminatif,” imbuh Adi yang juga seorang advokat ini. (dan)