Denpasar (Metrobali.com)-

Untuk proyek Pusat Kebudayaan Bali (PKB) diperoleh informasi mutahkir bahwa pinjaman dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) sebesar Rp.1.5 triliun, dengan biaya pengelolaan pinjaman 0,185 persen per tahun dan biaya provisi 1 persen. Jangka waktu pinjaman 96 bulan (8 tahun), termasuk masa tenggang pembayaran 24 bulan. Dana kredit sebesar Rp.854.3 milyar dari Bank BPD Bali.

Apabila persyaratan angsuran ke Bank BPD Bali sama dengan PEN, per akhir tahun 2024, Pemda Bali diperkirakan harus melakukan angsuran pertama dengan perkiraan Rp.350 milyar termasuk bunga. Jumlah ini, setara dengan 5,7 persen dari belanja APBD Bali tahun 2022 sebesar Rp.6.102 triliun.

Padahal kalau disimak pertumbuhan ekonomi Bali dalam 3 tahun berjalan: tahun 2020 minus 9.31 persen, tahun 2021 minus 2.47 persen dan triwulan pertama tahun 2022 tumbuh 1.46 persen, nomer tiga terendah setelah Provinsi Sumatra Barat dan Papua Barat.

Dari sisi kebijakan fiscal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Bali setara dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang untuk tahun ini ditargetkan sekitar 5 persen, sudah semestinya dana pinjaman PEN Rp.1.5 triliun, dan dana kredit Bank BPD Bali Rp.854.3 milyar diarahkan ke penciptaan kesempatan kerja produktif di perdesaan, mendorong industri kreatif dan pengembangan UMKM, pengembangan pertanian organik bagi petani milenial.

Dana tersebut akan sangat berdampak dalam: penciptaan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, mengurangi beban keuangan para pelaku usaha yang sangat berat akibat pandemi. Kalau proyek PKB tetap dipaksakan untuk dijalankan, opportunity cost nya tinggi: pertumbuhan ekonomi Bali tetap tertekan, kesannya pemda kurang punya komitment dalam penanggulangan kemiskinan, pembrantasan pengangguran dan membiarkan pelaku usaha berjuang sendiri dengan beban hutangnya. Sudah tentu kesan ini, bisa melahirkan biaya politik yang mahal dalam kompetisi politik tahun 2024 yang semakin mendekat.

Jro Gde Sudibya, ekonom dan pengamat ekonomi politik.