Prof Dr. Ketut Sumadi guru besar ke-9 IHDN Denpasar. ANTARA/Komang Suparta

Denpasar (Metrobali.com) –
Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Bali mengukuhkan Prof. Dr. Drs. Ketut Sumadi, M.Par menjadi guru besar pertama dalam bidang Ilmu Pariwisata Budaya dan Agama serta menjadi guru besar ke-9 di kampus itu.

Dalam upacara pengukuhan di Kampus IHDN Denpasar, Bali, Kamis, Prof. Dr. Drs. Ketut Sumadi, M.Par menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Relasi Wacana dan Kuasa Pengelolaan Modal Budaya Desa Wisata di Bali Dalam Perspektif Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Tri Hita Karana”.

“Pada acara pengukuhan tersebut, panitia memang sengaja mengundang dan melibatkan tokoh puri sebagai perwakilan masyarakat Bali dan menjadi simbol Bali, selain dari pemerintahan,” kata seorang panitia I Gusti Ngurah Pertu Agung M.Ag.

Prof. Sumadi mengatakan, orasi ilmiah yang akan disajikan memaparkan bahwa Bali yang terkenal sejak dulu sebagai destinasi pariwisata dengan keunggulan budayanya. Dulu, desa wisata pernah berkembang sangat bagus dengan syarat memiliki “Pramanam Patra Budaya” merupakan izin dari Listibia.

“Sekarang ada program desa wisata dari kebijakan WTO. Mulai dari cita-cita masyarakat untuk mewujudkan wisata berkelanjutan. Artinya menghormati tradisi, dapat memberikan kesejahteraan berkesinambungan dan memberi lapangan pekerjaan,” ucap mantan wartawan ini.

Menurut Prof. Sumadi, desa wisata perlu diwacanakan dan didukung oleh pemegang kebijakan, seperti desa adat, pengusaha pariwisata dan krama desa (masyarakat) yang harus mendukung.

Caranya dengan membuat peraturan yang jelas, dari pemerintah pusat dengan undang-undang periwisata, Perda, dan undang-undang desa. Desa mesti memiliki “awig-awig dan pararem” (aturan), sehingga menjadi sangat kuat.

“Modal budaya itu harus didukung dengan modal sosial, SDM, ekonomi, dan politik. Perlu ada sinergisitas desa adat dengan desa dinas,” ujar Prof. Sumadi yang juga seorang pemangku (rohaniawan Hindu) ini..

Semua kelompok (paiketan) di desa itu, seperti paiketan pandita, serati, mancagra (ebat), arsitek, pregina, dan paiktan lainnya harus sering diajak, sehingga tidak ada terjadi pelecehan terhadap simbol-simbol agama yang viral terjadi belakangan ini. Perlu juga ada rapat (paruman) untuk mewujudkan atraksi.

“Sebuah desa itu ada banyak tur yang bisa disajikan, sehingga ada banyak cerita yang bisa disampaikan kepada wisatawan. Dengan begitu, wisatawan bisa lebih lama tinggal di desa tersebut,” ujar pria asal Batuyang, Kabupaten Gianyar.

Desa adat di Bali dalam pengelolaan modal budaya desa wisata harus mengutamakan penguatan desa adat berlandaskan “Tri Hita Karana”, baik terkait unsur “Parahyangan, Pawongan, maupun Palemahan”.

Hal-Hal penting yang harus diperhatikan misalnya, penguatan unsur Parahyangan antara lain aktivitas kearifan lokal religiusitas sesuai fungsi dan makna keagamaan dan kesejarahannya, simbol agama dan benda sakral tidak dipakai hiasan atau komoditi pariwisata, dan aktivitas berwisata bersifat edukatif tentang nilai-nilai budaya serta tradisi keagamaan.

Desa wisata juga memiliki agenda atraksi dan promosi terprogram dengan mempertimbangkan motivasi wisatawan, idealnya tidak ada aktivitas, perilaku wisatawan atau bangunan di lingkungan desa wisata yang dianggap dapat mengganggu keberadaan tempat suci dan tempat-tempat yang disucikan.

“Karena itu perlu dibuatkan aturan dalam awig-awig atau pararem tentang tata tertib/etika wisatawan di tempat wisata lengkap dengan sanksinya, kemudian tata tertib tersebut ringkasannya dipasang di tempat wisata sehingga wisatawan tidak melakukan aktivitas melanggar norma agama dan tradisi masyarakat seperti yang sering viral di media sosial,” ucap mantan aktivis/pegiat Peradah Indonesia.

Menurut dia, penguatan unsur “Pawongan” antara lain desa wisata dikelola oleh lembaga desa (kelompok sadar wisata atau badan usaha milik desa dengan SDM profesional yang memiliki komitmen terhadap penguatan desa adat berbasis “Tri Hita Karana”.

Komposisi tenaga kerja di desa wisata di dominasi tenaga kerja lokal, memiliki program berpartisipasi dalam kegiatan organisasi sosial yang mencerminkan implementasi unsur “Tri Hita Karana”, memiliki program memberdayakan SDM, fasilitas, memberikan apresiasi dan punya komitmen terhadap kesan/pesan, memiliki data tentang length of stay wisatawan dan menghindari terjadinya perselisihan/konflik di lingkungan internal pengelola maupun konflik dengan masyarakat sekitar desa wisata.

Prof Sumadi mengatakan penguatan unsur “Palemahan” misalnya desa wisata memiliki data batas-batas yang jelas, memiliki kawasan/fasilitas parkir yang memadai, memiliki kantor/sekretariat pengelola yang representatif, seluruh bangunan penunjang di kawasan desa wisata mencerminkan arsitektur lokal dan lainnya.

Wisata memiliki fasilitas untuk wisatawan yang berkebutuhan khusus, pengelola desa wisata memiliki wilayah yang terawat, indah, dan mencerminkan kearifan lokal hubungan harmonis manusia dengan alam, memiliki tempat pengelolaan limbah dan sampah dan lainnya. (Antara)