Jembrana (Metrobali.com)-

Petani kakao di Jembrana kini patut berbangga. Selain harga semakin membaik, jumlah permintaan akan kakao Jembrana semakin meningkat. Bahkan dengan luas perkebunan 6.226 hektar produksi kakao Jembrana menjadi terbesar di Bali.

Setelah sempat terpuruk di tahun 2004 hingga tahun 2009 lantaran tanaman kakao terserang hama, penyakit, usia tanaman dan faktor lain, kini produksi kakao di Jembrana semakin meningkat. Bahkan berkat keikutsertaan beberapa subak abian diawali dengan program spirit kakao lestari atau kakao berkelanjutan dalam kerangka sertifikasi UTZ, kakao Jembrana mampu menembus pasar ekspor.

Salah seorang petani asal Desa Pohsanten, Mendoyo, Ketut wenten menuturkan berkat koperasi Kerta Semaya Samaniya harga kakao dengan standar UTZ jauh lebih mahal dari kakao biasa. “Sebelumnya kami pasrah dengan masalah harga, tapi sekarang jauh lebih baik” ujarnya.

Komang Ariada, Kasi Pengendalian OPT pada Dinas Perkebunan Jembrana beberapa waktu lalu mengatakan kakao Jembrana pernah mengalami keterpurukan di tahun 2004 hingga tahun 2009. Bahkan perhektarnya hanya mampu memproduksi 0,4 ton. Namun seiring waktu produksi kakao di Jembrana meningkat tajam, bahkan melebihi standar yakni 0,78 ton perhektarnya.

Menurutnya masalah harga menjadi kendala utama petani kakao di Jembrana dalam memproduksi kakao. Dan permasalahan ini muncul dari kurangnya pemahaman petani terkait harga kakao biasa dan bersertifikasi. Untuk harga kakao bersertifikasi bisa mencapai Rp.25.550 sedangkan kakao biasa perkilonya hanya mencapai Rp.23.400.   

Dari sekitar 154 subak abian di Jembrana, kata Ariada, baru 18 subak abian yang sudah memproduksi kakao dan sudah memenuhi standar baku. Bahkan beberapa hari lalu telah dilakukan pengiriman perdana sebanyak 8 ton biji kakao fermentasi produk UTZ ke PT Papandayan. MT-MB