Ole : I Gde Sudibya
Reforma Agraria  yang sekarang ” ditempelkan ” dalam UU Cipta Kerja kalau tidak diwaspadai negara, program ini patut diduga akan mudah diselewengkan oleh kelompok kepentingan yang tidak bertanggungjawab yang jauh dari cita-cita kesejahteraan rakyat yang diamanatkan oleh UU Pokok Agraria tahun 1960.
Sebenarnya ada persoalan yang lebih serius dan lebih mendasar di belakang pro kontra dari UU berbentuk Omnibus law ini. Ada kesan pemerintah dan DPR sejak pembahasan awal cendrung melakukan pendekatan otoritarian, meniru model  China dan juga Vietnam untuk mendorong investasi.
Pendekatan ini, atau persepsi terhadap pendekatan ini, sudah tentu mengalami perlawanan  keras oleh gerakan rakyat yang pro demokrasi. Ada kekuatan lain yang numpang, gerakan radikal keagamaan, dan penumpang gelap lainnya, ini yang perlu diwaspadai dan dikelola oleh gerakan pro demokrasi.
Ironinya dan bahkan tragisnya, cara-cara non demokratis ini, akan menghasilkan perekonomian yang sangat liberal, anak kandung dari liberalisme. Sistem ini gagal total diterapkan di ” rumah ” asalnya AS. Pasca krisis keuangan thn.2008, kelas menengah dan bawah masyarakat AS tidak bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi. Melahirkan fenomena politik ” Donald Trump “, yang mengguncang tidak hanya AS tetapi juga dunia. Analisa ekonomi politik dari pakar dunia amat sangat banyak mengulasnya, dan juga film-film Hollywood dengan sutradara cerdas.
Pokok-pokok pemikiran: Pro Kontra UU Cipta Kerja, Momentum Kembali ke UUD 1945.
1. Pro kontra UU  ini, sebagai momentum untuk membuktikan kita setia pada azas musyawarah dan mufakat. Sudah semestinya karena tajamnya  perbedaan, dari sisi kepentingan, perbedaan pandangan dan pemikiran yang lebih mendasar, materi UU ini didialogkan kembali dengan semangat musyawarah untuk mencapai mufakat. Bukan dengan cara cara yang tidak terhormat: pemaksaan kehendak, analisis palsu dan menebar kebohongan.
2.Kita sepakat dengan dan atau tanpa pandemi Covid-19 kita memerlukan banyak investasi untuk penciptaan kesempatan kerja, tetapi prosesnya mesti dengan cara-cara demokratis, tidak mesti meniru negara lain yang menggunakan pendekatan otoritarian atau semi otoritarian. Karena akan menghadapi perlawan keras dari gerakan demokrasi  yang tumbuh dan berkembang dalam 30 tahun. Salah puncaknya, keberhasilan gerakan reformasi 22 tahun yang lalu.
3.Semestinya disadari bersama, pendekatan semi otoritarian untuk “menggolkan”, UU Cipta Kerja dengan motif utama di permukaan untuk menarik investasi dan melahirkan kesempatan kerja, melalui pemberian kemudahan dan bahkan kesannya ” karpet merah ” buat investor, akan melahirkan liberalisme ekonomi yang semakin tinggi.
Konsekuensinya, mungkin investasi dan kesempatan kerja bertambah, tetapi diikuti oleh kesenjangan pendapatan  dan ketidakadilan ekonomi yang meninggi.
Kita bisa belajar dari liberalisme ekonomi  yang berlangsung di AS, ketimpangan pendapatan tinggi, pasca krisis keuangan 2008, mayoritas kelas bawah, sebagian kelas menengah tidak mampu keluar dari krisis, dan mengalami tekanan berat ekonomi  berkepanjangan.
Akibatnya secara politik,  muncul prilaku politik yang amat sangat bertentangan dengan tradisi demokrasi politik di AS ,yang sangat menghormati perbedaan, pengakuan tinggi terhadap hukum dan HAM.
 4. Di tengah masa pandemi dengan risiko kesehatan dan bahkan kematian, resesi ekonomi yang telah berlangsung, paragdima baru ekonomi akibat pandemi, menyebut salah satu di antaranya: negara yang ekonominya tergantung pada jasa dan terintegrasi penuh dengan sistem ekonomi global, paling menderita. Contohnya Singapura dan beberapa negara Eropa.
Dalam revisi UU Omnibus Law ini, sebuah momentum penting strategis bagi para elite  untuk merumuskan kebijakan ekonomi, sejalan dengan UUD 1945, yang basis intinya ada pada pasal 33, yang dirumuskan amat cerdas, visioner, berempati pada rakyat, oleh Bapak Pendiri Republik Drs. Mochammad Hatta.
5. Momentum penting untuk merumuskan kebijakan ekonomi politik yang membumi sebagai realisasi dari pemikiran besar Soekarno Tri Cakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Sekaranglah waktunya, para politisi yang mengklaim dirinya sebagai ” anak-anak ” ideologis Soekarno, membuktikannya dalam realitas riil politik. Tidak sebatas jargon, lips service, janji muluk-muluk  yang tidak membumi  membuat bising publik di masa kampanye.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali dan anggota Badan Pekerja MPR RI Fraksi PDI Perjuangan 1999 – 2004.