Foto: Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali Gde Sumarjaya Linggih yang akrab disapa Demer.

Denpasar (Metrobali.com)-

Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali Gde Sumarjaya Linggih yang akrab disapa Demer menjawab kekhawatiran sejumlah pihak terkait nasib rencana pembangunan Bandara Bali Utara pasca ada kebijakan dari Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang telah mengeluarkan perintah untuk menyetop sementara kucuran anggaran di APBN untuk pembangunan infrastruktur baru.

Menurut Demer yang juga Anggota Fraksi Golkar DPR RI itu, pembangunan proyek Bandara Bali Utara  ini masih bisa dikelola oleh pihak swasta. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pembangunan dan pengelolaan fasilitas darat (landside) bandara dapat dilakukan oleh pihak swasta, sementara sisi udara (airside) tetap dikelola oleh perusahaan BUMN seperti Airnav.

Demer yang dikenal sebagai sosok wakil rakyat yang tak kenal lelah berjuang untuk pemerataan ekonomi dan pembangunan di tanah Bali ini lantas memberikan contoh pihak swasta seperti PT Gudang Garam telah sukses membangun bandara di Kediri, yang menunjukkan bahwa model ini dapat diterapkan dalam pembangunan Bandara Bali Utara. Terlebih lagi Bandara Ngurah Rai di Bali Selatan sudah hampir over capacity sehingga pembangunan bandara baru sangat diperlukan untuk menyelematkan pariwisata dan perekonomian Bali.

“Jadi tidak ada masalah kalau nantinya sebentar lagi akan ada airport. Kenapa? Karena airport Ngurah Rai juga sudah overload dan karena saya kebetulan di daerah Komisi 6, jadi mengerti dan tahu informasi,” ungkap Demer belum lama ini.

Wakil rakyat yang sudah lima periode mengabdi di DPR RI memperjuangkan kepentingan Bali ini menegaskan rencana pembangunan Bandara Bali Utara harus segera diwujudkan untuk mempercepat pemerataan ekonomi dan pemerataan pembangunan di seluruh Bali terlebih juga Presiden Prabowo sudah berkomitmen serius mewujudkannya.

Demer menjelaskan pentingnya pembangunan bandara sebagai sarana untuk mempercepat hubungan internasional, yang pada gilirannya akan mendorong kemajuan daerah. Ia mengingatkan bahwa Buleleng dulu maju karena memiliki pelabuhan laut yang menghubungkannya dengan dunia internasional.

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan munculnya pesawat terbang yang memungkinkan akses lebih cepat ke luar negeri, daerah selatan Bali lebih berkembang, sementara daerah utara, timur, termasuk Karangasem, tertinggal. Menurutnya, dengan adanya bandara baru, Karangasem dapat kembali bersaing dan maju seperti daerah lainnya.

“Dulu banyak orang yang mampu dari Buleleng, karena dia punya pelabuhan laut. Perkembangan teknologi kemudian, ada yang namanya pesawat terbang, yang menghubungkan lebih cepat dengan dunia internasional. Akhirnya daerah selatan, kemudian lebih maju, daerah ini jadi tertinggal,” beber politisi Golkar asal Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng itu.

Demer  terus mengingatkan pentingnya menjaga keberagaman budaya Bali, terutama dalam menghadapi ketimpangan pembangunan antara daerah selatan dan utara. Ia menekankan bahwa kemajuan yang pesat di daerah selatan, seperti inflasi yang tinggi dan harga tanah yang melambung, dapat memaksa masyarakat dengan penghasilan rendah untuk pindah ke daerah lain yang lebih terjangkau, seperti Tabanan, Gianyar, atau Klungkung.

Hal ini, menurutnya, berisiko menghilangkan identitas budaya Bali, karena jika komunitas Bali hilang, adat istiadat dan tradisi yang menjadi inti budaya juga akan hilang. Demer berharap bahwa pemerataan pembangunan dapat menjaga keberlanjutan budaya Bali.

“Kalau ketimpangan terjadi di daerah selatan, misalnya budayanya akan tergerus kalau terus kemajuannya sangat tinggi di selatan. Jangan sampai orang Balinya hilang. Kalau orang Balinya hilang berarti komunitasnya hilang. Komunitasnya hilang, adat istiadatnya pasti akan hilang,” tuturnya.

Demer menyatakan bahwa kondisi Karangasem dan Buleleng, yang memiliki pertumbuhan ekonomi rendah dan sedikit kesempatan kerja, menyebabkan banyak orang meninggalkan kampung halaman mereka. Hal ini berujung pada urbanisasi, dengan banyak rumah kosong di desa-desa.

Meskipun saat ini sebagian orang masih bisa mengikuti tradisi adat, ia khawatir bahwa seiring waktu, generasi muda yang pergi akan berpengaruh terhadap eksistensi adat dan budaya Bali. Menurutnya, jika hal ini terus berlanjut, Bali akan kehilangan jati dirinya atau rohnya, yang pada akhirnya bisa berdampak pada penurunan daya tarik pariwisata di pulau ini.

“Sekarang ini mungkin masih ada karena semua orang masih bisa bayar denda kalau enggak datang di acara adat. Tapi lama-lama mereka yang masih tua-tua dan sebagainya akhirnya semua yang udah meninggalkan, maka adat dan budaya kita juga akan terganggu. Artinya, Bali akan kehilangan rohnya. Maka, Bali akan ditinggalkan oleh wisatawan,” pungkas Demer. (wid)