Ilustrasi : Peristiwa 15 Januari 1974

Jakarta, (Metrobali.com)-

Terjadi kerusuhan di Jakarta yang dilakukan oleh kelompok perusuh, akibat terjadinya konflik internal di antara dua Jendral yang dekat dengan dengan Pak Harto, untuk mengambil hati beliau , intrik politik yang kemudian terbukti gagal.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, aktivis mahasiswa Jakarta tahun 1970’an, ekonom, pengamat ekonomi, Rabu 15 Januari 2025.

Menurutnya, kerusuhan yang mencoba menunggangi demo besar yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswi Jakarta pada saa itu, sebagai aksi protes dari kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka.

“Pada saat itu, yang oleh mahasiswa dianggap mewakili kepentingan investasi Jepang, yang dinilai mendikte kebijakan investasi pro Jepang yang era itu sudah dinilai sangat kebablasan, merugikan kepentingan ekonomi nasional, dan menimbulkan persepsi mahasiswa tentang model “penjajahan” baru dari Jepang,” kata I Gde Sudibya.

Dikatakan, pemerintah Orde Baru memberikan respons serius terhadap tuntutan mahasiswa ini, elite kekuasaan yang terlalu “pro Jepang, agaknya ditegur Pak Harto, lahir kebijakan untuk melakukan koreksi terhadap ketimpangan ekonomi, yang sangat populer di era tahun 1970 – 1980’an, yang disebut dengan Kebijakan Pembangunan dengan Delapan Jalur Pemerataan.

Menurutnya, didukung dengan paket Kebijakan komprehensif, dirasakan manfaatnya, tidak saja oleh para pelaku usaha besar, tetapi pelaku UMKM dan juga masyarakat kecil.

“Salah satunya adalah KIK (Kredit Investasi Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) yang dirasakan manfaatnya oleh pelaku UMKM dan juga para petani di perdesaan,” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, peta ekonomi politik sekarang, jauh lebih buruk dibandingkan dengan dominasi investasi Jepang tahun 1974, yang menjadi dasar protes mahasiswa di era itu.

“Dominasi China terhadap ekonomi nasional sangar besar, mulai dari “banjir” produk China yang “bebas hambatan”, merontokkan industri manufaktur nasional, sampai “cengkeraman” kuat dalam penambangan dan hilirasi Nikel yang sarat kontroversi,” katanya.

Dikatakan, cengkeram pengusaha dalam negeri dari belasan perusahaan dalam kelompok oligarki begitu perkasa, puncaknya yang kasat mata dalam proyek PIK Dua, lengkap dengan sebut saja”opera sabun” pemasangan pagar bambu sepanjang 30 km di laut Tangerang.

Menurutnya, hikmah yang semestinya bisa diambil dari peristiwa 15 Januari 1974 di Jakarta yakni pemerintah mesti melakukan koreksi mendasar terhadap kebijakan ekonomi yang selama ini, dinilai publik “membebek” kepentingan ekonomi China dan kelompok oligarki.

Selain itu, pemerintah mestinya, menegakkan aturan hukum dalam bidang perpajakan, untuk mengembalikan fungsi perpajakan sebagai instrument pemerataan dan keadilan ekonomi, dengan pengenaan pajak yang lebih progresif bagi kelompok menengah atas.

“Selanjutnya, koreksi ulang UU Cipta Kerja tahun 2020 yang terlalu liberal dan sentalistik, ke prinsip-prinsip sosialisme, sejalan dengan amanat konstitusi, dan sudah banyak dijanjikan oleh Presiden Prabowo.

Menurutnya, rumuskan kembali Kebijakan 8 Jalur Pemerataan model Orde Baru, yang disesuaikan dengan perubahan dan tuntutan “Desa, Kala, Patra”, dengan melakukan perlombaan kabinet Merah Putih secara substansial, untuk menjamin kebijakan bisa dijalankan.

“Untuk menghindari jebakan kepemimpinan sarat retorika, tetapi minus program aksi, di tengah: kelas menengah yang merosot tajam, daya beli masyarakat yang terjerembab, dan ketidak-pastian masa depan angkatan kerja informal, yang jumlahnya sekitar 60 persen dari total angkatan kerja,” kata U Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi.

Jurnalis : Sutiawan