Gde Sudibya pengamat politik, anggota Badan Pekerja MPR RI Fraksi PDI Perjuangan 1999 – 2004, dengan latar belakang kebun cengkeh di Tajun, Buleleng.

Denpasar, (Metrobali.com)-

Presiden Jokowi telah gagal dalam menjalankan amanah konstitusi, melanjutkan Pengembangan Demokrasi Konstitusional. Pengembangan demokrasi konstitusional adalah pengembangan demokrasi berbasis konstitusi dan aturan hukum turunannya.

Hal tersebut dikatakan I Gde Sudibya pengamat politik, anggota Badan Pekerja MPR RI Fraksi PDI Perjuangan 1999 – 2004, Kamis 29 Februari 2024 menanggapi pemberian jendral kehormatan kepada Prabowo Subianto.

Dikatakan, bukti kegagalan menjankan konstitusi tersebut menyebut beberapa: pertama, di tingkat niat: perpanjangan masa jabatan Presiden, jabatan periode ke tiga, dan berbentuk “final” memajukan Gibran sebagai cawapres Prabowo, melalui keputusan MK no.90, yang menabrak konstitusi dan melanggar etika publik.

I Gde Sudibya mengatakan, bentuk politik dinasti, yang melahirkan wajah buruk dari Pilpres dari sisi: perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.

“Publik menilai telah terjadi pelanggaran Pemilu dalam kategori: TSM (Terstruktur, Sistematika dan Massif). Wacana tentang hak angket DPR ditunggu publik,” kata Gde Sudibya.

Kedua, melakukan pembahasan dalam sidang kabinet, program kampanye Prabowo – Gibran tentang makan siang gratis yang kontroversial tersebut, sebelum penetapan kemenangan oleh KPU, dan menafikan protes mahasiswa, kalangan intelektual, dan gerakan masyarakat sipil, tim pemenangnya 01 dan 03, jelas-jelas melanggar etika pemerintahan.

Menurutnya, keputusan ini sarat kontroversi, menaikkan suhu politik pro kontra, dan menaikkan potensi polarisasi, pengepingan sosial.

Ketiga, isu termutakhir, penaikan pangkat oleh Presiden ke Prabowo menjadi Jendral kehormatan,yang dalam pilpres 2014 dan 2019 menjadi musuh “bebuyutannya”.

“Sekarang malah membangun “partnership” melalui pencalonan Gibran, paling tidak mempunyai dua cacat, cacat etika, karena Prabowo di masa lalu telah diberhentikan dengan tidak hormat melalui sidang kehormatan perwira karena diduga melakukan pelanggaran HAM berat. Pelanggaran aturan Undang-undang yang berkaitan dengan kenaikan pangkat di lingkungan TNI,” katanya.

Menurutnya, publik menilai, Presiden sebagai panglima tertinggi, yang legitimasinya terus turun akibat politik “cawe-cawe”, dan masa jabatannya menghitung hari, kalau berjalan normal tinggal tujuh bulan dan dua puluh hari.

” Keputusan ini oleh publik dinilai, manuver politik Presiden sebagai panglima tertinggi TNI, melakukan intervensi terlalu jauh ke TNI untuk kepentingan politiknya. Keputusan yang mencidrai Pengembangan demokrasi konstitusional,” kata I Gde Sudibya, pengamat politik, anggota Badan Pekerja MPR RI Fraksi PDI Perjuangan 1999 – 2004. (Adi Putra)