Prediksi Ekonomi Indonesia Tumbuh Stagnan Sekitar 5 persen, Tantangan bagi Kabinet Merah – Putih Presiden Prabowo
Denpasar, (Metrobali.com)
Harian Kompas (13/12), memberitakan: ekonomi Indonesia tahun 2025 diperkirakan tumbuh stagnan, sekitar 5 persen, sehingga target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen selama lima tahun ke depan akan sulit bisa dicapai, jika tidak terjadi terobosan besar dalam membenahi kebijakan ekonomi.
Kompas, prediksi ekonomi tahun 2025, Kementrian Keuangan 5,1% – 5,5%. Bank Indonesia 4,8% – 5,6%. Dana Moneter Internasional 5,1%. Bank Dunia 5,1%. Bank Pembangunan Asia 5,0%.
Menurut I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan, bahwa prediksi ekonomi di atas, diperkirakan dalam kategori OPTIMIS, karena sejumlah alasan. Defisit APBN tahun 2025 diperkirakan Rp.600 T, 17 persen dari total APBN, sehingga ruang fiscal yang tersedia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi sangat terbatas.
Dikatakan, penarikan hutang luar negeri juga terbatas, karena pengelolaan hutang luar negeri selama ini sudah sampai pada tingkat “tutup lubang gali lubang”. Untuk melunasi bunga plus angsuran, harus menambah hutang baru.
Menurutnya, kemampuan kabinet yang diragukan publik, akibat: sarat balas budi politik, diabaikannya sistem meritokrasi, jauh dari zaken kabinet, kabinet yang terlalu gemuk menjadi boros dan bisa tidak efektif.
Dikatakan, potensi konflik kepentingan di internal kabinet, dengan agenda masing-masing partai, dan agenda politik Jokowi yang “dititipkan” dalam kabinet, yang punya potensi mengalami konflik kepentingan dengan agenda politik Presiden Prabowo.
Menurutnya, ada persoalan koordinasi dan komunikasi di internal kabinet, dalam kasus penerapan PPN 12 persen. Menkeu Sri Mulyani menegaskan PPN akan segera berlaku 1 Januari 2025, sesuai aturan harmonisasi perpajakan. Sedangkan Luhut B Panjaitan sebagai ketua DEN, mewacanakan untuk menunda.
Dikatakan, Presiden Prabowo dengan retorika tinggi mewacanakan ide sosialisme dalam pemerintahannya, sebut saja dalam kasus penyelamatan PT Sritek dengan jumlah tenaga kerja sekitar 50 ribu orang, tampaknya tim ekonomi tidak meresponsnya dengan cepat.
“Ambisi besar dalam swasembada pangan, mirip pemerintahan sebelumnya, tetapi belum ada agenda teknokratis terukur sebagai agenda pokok kabinet, yang bisa dimonitor oleh publik,” kata I Gde Sudibya.
Selanjutnya, yang muncul, pernyataan-pernyataan lepas sejumlah anggota kabinet tentang ambisi besar swasembada pangan, tanpa program yang jelas, sumber pendanaan dan “work plan” nya. Kesannya sebatas pencitraan, yang pada akhirnya bermuara pada “pepesan” kosong. (Sutiawan).