PERSOALAN kelebihan kapasitas penghuni lembaga pemasyarakatan di tanah air, sudah bukan persoalan baru lagi dan itu sudah menjadi persoalan yang umum. Bagaimana tidak satu sel yang berukuran kecil, bisa dihuni puluhan orang hingga saat mereka tertidur mirip “pindang”.

Alih-alih untuk memanusiakan mereka ke jalan yang benar namun sebaliknya menjadi tidak memanusiakan.

Kalau saja tidak terjadi peristiwa aksi kerusuhan dan pembakaran Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Kelas I Medan pada 12 Juli 2013, soal kelebihan kapasitas itu tidak akan mengemuka kembali. Terlepas dari itu, setidaknya persoalan tersebut menjadi pekerjaan bersama dan jangan hanya sebatas saling menyalahkan antara satu pihak dengan pihak lainnya.

Mari pikirkan bersama-sama untuk memperbaiki segala kekurangan itu, dan diharapkan tidak terjadi kembali kerusuhan di dalam penjara yang secara tidak langsung memberikan citra negatif di dunia internasional.

Kendati demikian, pemerintah sendiri melalui instansi terkait Kementerian Hukum dan HAM juga tidak memungkiri jika persoalan kelebihan kapasitas itu benar adanya, dan tidak perlu ditutup-tutupi lagi.

Bahkan Direktur Bina Keamanan dan Ketertiban Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Wibowo Joko Harjono mengemukakan pembangunan lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) tambahan tidak sebanding dengan jumlah penghuni lapas dan rutan.

“Usaha (menambah lapas dan rutan) tetap ada. Rencana ada penambahan 40 lapas dan rutan baru untuk tahun 2013,” katanya.

Joko mengatakan bahwa kapasitas lapas dan rutan di seluruh Indonesia hanya 91 ribu orang, tapi jumlah penghuni saat ini sudah lebih dari 162 ribu orang.

“Kalaupun ada pembangunan (lapas dan rutan baru) dalam setahun mungkin tidak (menambah kapasitas) sekitar 500 orang,” kata dia mengungkapkan.

Penambahan kapasitas ideal lapas dan rutan di Indonesia, lanjut Joko, sebanyak 5000 orang dalam setahun.

Ia menjelaskan kelebihan kapasitas di lapas dan rutan di seluruh Indonesia disebabkan semua terdakwa yang telah divonis bersalah pengadilan akan berakhir di lapas dan rutan.

“Berapa pun yang dikirimkan ke lapas, kami tidak dapat menolak karena tidak mungkin ada kejahatan yang tidak ditangani,” kata Joko.

Presiden perhatikan Bahkan Pada Sabtu (13/7), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta laporan penggunaan anggaran peningkatan kapasitas lembaga permasyarakatan (Lapas) senilai Rp1 triliun.

“Saya telepon Wakil Presiden (Boediono) dari Lombok, kita sudah menetapkan anggaran Rp1 triliun untuk meningkatkan kapasitas lapas, terutama yang sudah overload (kelebihan penghuni). Tujuan kita jangan sampai terjadi seperti apa yang di Medan ini,” kata Presiden Yudhoyono.

Seperti Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DKI Jakarta,tercatat tingkat hunian Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan melebihi kapasitas hingga 300 persen.

“Idealnya sesuai kapasitas, namun saat ini rata-rata melebihi kapasitas 150 persen hingga 300 persen,” katanya.

Irsyad mengatakan pihaknya kekurangan fasilitas lapas dan rutan untuk menampung para tahanan maupun narapidana.

Rencananya, Kemenkumham akan membangun rutan dan lapas baru, guna menampung para tahanan maupun narapidana, agar tidak melebihi kapasitas.

Irsyad mengakui pihaknya juga kekurangan jumlah sumber daya manusia yang bertugas sebagai sipir atau petugas keamanan lapas atau rutan.

“Guna mengantisipasi, kita lakukan perekrutan setiap tahun,” ujar Irsyad.

Pada kesempatan itu, Irsyad menegaskan pihaknya akan membenahi sistem pengamanan rutan dan lapas, termasuk mengantisipasi penggunaan telepon selular oleh tahanan maupun narapidana.

Irsyad menyatakan pihaknya akan memberikan sanksi tegas kepada petugas atau sipir yang terbukti menerima uang dari tahanan maupun narapidana yang menggunakan telepon selular.

Pemicu rusuh Sementara itu, kriminolog Mulyana W Kusuma juga tidak memungkiri terjadinya kerusuhan di Lapas Medan itu akibat dari daya tampung lapas yang melebihi kapasitas, seperti kapasitas yang seharusnya untuk 1.604 orang namun diisi oleh 2.600 orang hingga mempengaruhi kondisi psikologis para penghuninya.

Selain itu, adanya kelompok-kelompok yang dipimpin oleh tokoh- tokoh napi yang ‘berpengaruh’ memang bisa berperan sebagai pemelihara stabilitas penjara. Tapi ini juga berpotensi merusak stabilitas keamanan lapas, katanya.

Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan menilai ada tiga faktor utama yang dapat memicu persoalan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia.

“Ketiga faktor tersebut adalah kelebihan kapasitas, masih buruknya fasilitas di lapas tingkat kabupaten dan kota, serta adanya peraturan Menteri Dalam Negeri yang tidak boleh menerima dana petikan,” kata Trimedya Panjaitan pada diskusi “Polemik: Gelap Mata di Tanjung Gusta”, di Jakarta, Sabtu.

Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan, kerusuhan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) seperti di Lapas Tanjung Gusta Medan berpotensi terjadi di hampir semua lapas.

“Hal tersebut karena tata kelola Lapas yang belum memenuhi standar kemanusiaan yang layak,” kata Hendardi di Jakarta, Jumat.

Kalaupun bukan kerusuhan, maka transaksi fasilitas terjadi dan berlaku bagi mereka yang memiliki akses dan finansial, katanya.

“Jadi peristiwa di Lapas Tanjung Gusta tidaklah mengejutkan, meski tetap harus disayangkan dan empati terhadap korban tewas. Tapi yang utama adalah soal kinerja tata kelola lapas yang perlu diperbarui secara progresif,” kata Hendardi.

Kerusuhan itu ekspresi depresi kolektif akibat tata kelola Lapas yang amburadul, katanya. Riza Fahriza-MB