Posisi Tawar Negara Lemah Berhadapan dengan Oligarki
Denpasar (Metrobali.com)-
Berdasarkan investigasi sebuah majalah nasional, efektivitas pemungutan pajak di industri sawit, hanya 50 persen, tetapi negara tampaknya tidak mampu menaikkan penarikan pajak di industri ini. Salah satu penyebabnya dugaan moral hazard dalam penentuan pajak. Para oligarki, menunjuk konsultan pajak yang merupakan pejabat perpajakan, sehingga potensi moral hazard sangat besar.
Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, Minggu 7 November 2024.
Dikatakan, berdasarkan data resmi pemerintah, beberapa tahun pasca pandemi 2020, tidak ada ekspor Nikel ke China, karena kebijakan formal pemerintah melarang ekspor Nikel sebagai “raw materials”.
“Tetapi, bea cukai China melaporkan impor Nikel dari Indonesia ke WTO sebesar 5,4 juta ton. Indikasi, kuatnya lobi oligarki dalam bisnis Nikel,” kata I Gde Sudibya.
Menurutnya, tahun 2021 – 2022, terjadi ekspor batu bara besar-besaran terutama ke China, sekitar 1,2 M ton, pada saat harga batu bara naik tinggi US Dolar 400 per metrik ton, dengan harga pokok produksi US Dolar 40 per metrik ton.
Dikatakan, belasan pengusaha tambang batu bara, diperkirakan untung besar Rp.1,500 T, dibebaskan dari “winds fall profit”, dan juga pungutan (levies), untuk mendorong perkembangan industri energi bersih, sesuai kesepakatan global.
Menurutnya, bentuk nyata, negara kalah dan tunduk kepada kekuatan oligarki, ditengah APBN yang super “cekak” ,hutang luar negeri menumpuk, dan tax ratio 9 persen yang rendah.
“APBN tahun depan diperkirakan defisit Rp.600 T, setara dengan 17 persen APBN. Kontradiksi, APBN super “cekak”, skala kabinet jumbo: 46 kementrian dan lembaga, dengan sejumlah menteri, wakil menteri 109 orang, dengan kapasitas kinerja diragukan publik,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik.
Sementara itu, pemberian status PSN (Proyek Strategis Nasional) untuk proyek: Bumi Serpong Damai, PIK Dua, Pantai Indah Kapuk Dua yang murni kepentingan bisnis. Pemberian “label” PSN, seakan-akan mewakili kepentingan publik, bentuk nyata dari kekuatan lobi dari para oligark terhadap kebijakan negara.
Dikatakan, kontroversi tarik ulur kenaikan PPN 12 persen, kenaikan pungutan pajak yang tidak adil, karena bersifat tidak langsung – indirect taxes- yang sangat memberatkan kelompok menengah bawah.
Menurutnya, kalaupun diterapkan secara serius, diperkirakan menambah pendapatan negara tahun depan di bawah Rp.5 T. Padahal, melalui pungutan pajak yang lebih efektif bagi kalangan menengah atas, termasuk para oligarki, dengan meminimalkan moral hazard bagi pegawai pajak, bisa menaikkan tax ratio dari 9 persen menjadi 11 persen, posisi sama dengan di era Orde Baru.
Kenaikan tax ratio 3 persen, setara dengan 33 persen dari pemungutan pajak tahun 2024, diperkirakan dapat menambah pendapatan pajak sekitar Rp.500 T, hampir mendekati defisit tahun 2025 sebesar Rp.600 T.
Tantangan kabinet Merah Putih tahun depan, lanjut I Gde Sudibya adalah peningkatan intensifikasi pemungutan pajak bagi kelas menengah atas, sesuai dengan prinsip keadilan -equity principles-.
Dikatakan, prinsip ini, beberapa kali dilontarkan Hasyim Djojohadikusumo, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, sekaligus “inner circles” terdekat Presiden Prabowo. (Sutiawan)