Ilustrasi SMAN Bali Mandara

 

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Pendidikan gagal dalam membangun keluhuran budi pekerti insan-insan manusia, karena fenomena 7 dosa sosial (seven social sins) yang merujuk pemikiran Mahatma Gandhi, menjadi semakin nyata. 1. Politik tanpa Prinsip. 2. Bisnis tanpa Moralitas. 3. Pencarian Kekayaan tanpa Upaya Kerja. 4. Pendidikan tanpa karakter. 5.Pengetahuan tanpa Kemanusiaan. 6.Pencarian Kesenangan tanpa upaya Pembatasan Diri. – Leisure without Conscience.7. Pemujaan kepada Tuhan tanpa Kerelaan Berkorban. – Pray to God without Sacrifice.

“Tujuh Dosa Sosial tersebut merupakan penyakit masyarakat, social diseases,” kata pengamat kebijakan publik Jro Gde Sudibya menanggapi berita humas Pemprov Bali tentang tepuk dada keberhasilan pendidikan di Bali, Rabu 3 Mei 2023.

Menurut Jro Gde Sudibya, fenomena ini persis terjadi di pulau Dewata ini. Visi pendidikan adalah cermin kepemimpinan yang benar. Di depan sebagai teladan, di tengah-tengah mengajak, dari belakang mendorong.

Jepang hancur lebur luluh lantah karena bom atom, sang Kaisar hanya bertanya, “Berapa jumlah guru kita yang masih hidup?”…Dua dekade kemudian kita tahu Jepang kini adalah masuk negara terkaya d dunia.

Bagaimana Bali bagaimana Indonesia?
Dikatakan, tingga minggu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom, Kaisar menyatakan kalah perang dan menyerah pada tentara Sekutu, elite di Jepang bukan bersedih dan saling menyalahkan, tetapi menentukan standar produksi nasional yang didukung oleh sistem pendidikan yang tangguh.

Dan, 25 tahun kemudian awal tahun 1970’an pasar AS dibanjiri produk elektronik Jepang dan kemudian yang menekan industri manufaktur Jepang dan juga negara-negara Eropa. Dasa warsa 1990’an dan 2000’an Toyota pernah mendominasi industri otomatif AS.

“Di sini, di negeri ini, pejabat publik yang hampir seluruhnya politisi, hanya punya kepentingan siklus lima tahunan, bercirikan pragmatis transaksional, termasuk melakukan politisasi bidang pendidikan,” katanya.

Dikatakan, politisasi alokasi anggaran, penempatan orang berdasarkan preferensi politik (political appointee), mengabaikan sistem meritokrasi, yang memerosotkan proses dan out put pendidikan.

“Sejarah selalu mengajarkan politisasi pendidikan, nir visi masa depan, merupakan awal kemerosotan negara bangsa dan kemudian peradaban. Rasanya, Bali dewasa ini sedang dihadapkan pada tantangan ini,” kata putra Buleleng itu.

Menurutnya, politisasi pendidikan dapat berupa antara lain alokasi anggaran pendidikan lebih difokuskan ke kepentingan elektoral, dapat merugikan proses ajar mengajar dan kualitas out put pendidikan.

Dikatakan, bentuk politisasi pendidikan yakni penempatan, promosi dan pemindahan pejabat pendidikan, pengawas, kepala sekolah dan guru, berdasarkan pertimbangan politik, sebut saja political appointee, yang dapat mengacaukan sistem meretokrasi, yang merupakan persyaratan bagi proses pendidikan yang sehat dan bertanggung jawab.

“Politisasi di dunia pendidikan, dapat berdampak buruk terhadap ekosistem pengajaran, yang kemudian berdampak terhadap kualitas anak didik, tidak sebatas penguasaan materi pelajaran, tetapi juga kualitas karakter: kejujuran, tanggung jawab, motivasi berprestasi, sikap mental sebagai pemenang (the winner), kemampuan kerja sama, empati dan kecerdasan dalam merespons perubahan,” katanya.

Dikatakan, ongkos sosial kultural dari politisasi pendidikan sangat mahal dan jangka panjang, bisa mengorbankan masa depan satu – dua generasi. Ini semestinya harus disadari oleh pejabat publik, termasuk di Bali untuk tidak bermain “api” dalam mengelola pendidikan dan masa depannya. (Adi Putra)