Denpasar (Metrobali.com)-

Senin (18/7/2022), pelapor Dewa Gede Ngurah Swastha, S.H atas nama Dr. I Ketut Widia, S.H, M.H, dipanggil dan diperiksa Unit Krimsus Polda Bali. Widia didampingi kuasa hukumnya, Putu Wirata Dwikora, S.H. Diperiksa selama kurang lebih 3 jam, Widia menjelaskan, bahwa ia melaporkan narasi Dewa Gede Ngurah Swastha, S.H yang diketahuinya dari video yang beredar di group media sosial dan transkrip narasinya juga diungkap media, dengan ucapan sbb: “Saya setuju, dengan dana demarkasi ini, kita identifikasi, mana orang-orang yang penganut sampradaya asing, mana yang ajeg Hindu dresta Bali, harus colek pamorin, begitu dia atau mereka ke pura, tanya, tegas, apakah akan kembali ke dresta Bali, ataukah tetap sampradaya asing, karena kalau mereka kembali; inggih tityang matur sisip, ngaturang Guru Piduka, Upasaksi. Karena tujuan kita, bukan membenci, tapi menyadarkan dan membina, tapi kalau tidak bisa disadarkan dan dibina, keluar dari Bali…..dst’’

Narasi yang diucapkan Dewa Ngurah Swastha pada tanggal 5 Juni 2022 di Pura Ulun Danu Batur di hadapan Sulinggih, Pemangku, Prajuru Desa Adat Batur, Pemedek Pura, disesalkan oleh pelapor (Ketut Widia), karena menurut pemahaman pelapor, ucapan itu mengandung unsur penghasutan, fitnah, pencemaran nama baik, kebencian, sebagaimana diatur dalam KUHP , UU ITE dan UU lainnya.

Bahwa ada indikasi orang terhasut oleh ucapan tersebut, disampaikan oleh Kuasa Hukum pelapor, Putu Wirata Dwikora. Menurut Putu, ada dua akun di media sosial yang menebarkan ancaman, yakni akun facebook ‘’Brahmasta Bali’’ dan akun facebook ‘’Deta Artista’’. Putu membeberkan,

di akun FB ‘’Brahmastra Bali’’ pada suatu hari setelah 5 Juni 2022 terdapat  status yang isinya: Tolong kontrol anggotanya Manggala Upacara. Yen nu bengkung nu masi macelep ke pura..Siap2 gen pas mare mesila bise baong kar mebangsot…’’ yang berarti: Tolong kontrol anggotanya Manggala Upacara. Kalau masih bandel, masih juga masuk ke pura…siap2 saja saat duduk bersila bisa lehernya akan dijerat…”

Selain itu, di akun FB ‘’Deta Artista”, termuat status dengan ucapan,’’Bli sampunang je nganggen adan Desa tyg…lek tyg nok…Desa tyg di Manuaba, Tegalalang, Gianyar…dst….dengan kata warna merah bertulis ‘’USIR” di atas foto orang yang diduga bernama Manuaba.

‘’Kami sampaikan terima kasih ke Polda Bali, yang cepat tanggap terhadap laporan klien kami. Setelah memeriksa pelapor atas nama Made Bandem Dananjaya, hari ini diperiksa pelapor kedua, Dr. Ketut Widia. Kami percayakan sepenuhnya kepada Polda, agar kasus ini secepatnya terang benderang, karena pelapor sudah menyertakan salinan video narasi terlapor pada tanggal 5 Juni 2022, print out dari screenshoot status di media sosial yang diduga mengandung unsur ancaman karena diduga terhasut oleh narasi tanggal 5 Juni 2022, yang menurut analisis hukum para penerima kuasa, diduga sudah memenuhi unsur pidana,’’ imbuh Putu Wirata.

Namun, agar tidak mendahului kerja-kerja Polda Bali yang melakukan pengusutan terhadap kasus tersebut, Putu menyampaikan terima kasih ke penyelidik Polda Bali, karena atensi cepatnya menangani laporan masyarakat. Menurut Putu Wirata, laporan dua kliennya ini sama sekali tidak masuk dalam wilayah pro-kontra dalam polemik sampradaya Hare Krishna dan Sai Baba. Jangan sampai ditarik ke persoalan polemik sampradaya non-dresta Bali, jangan sampai pula FKUB dan MDA terbawa-bawa, karena sampai sekarang keberadaan MDA, FKUB dan PHDI sangat solid dalam mengadvokasi polemik di internal masyarakat Bali ini. Menurut Putu Wirata, yang dilaporkan pun bukanlah MDA, tetapi Dewa Gede Ngurah Swastha sebagai Dharma Kertha PHDI MLB, sebagaimana terlapor sering menyebut statusnya. Sementara FKUB dan MDA, tetap merupakan mitra kerja PHDI dalam melakukan pelayanan umat di masyarakat, dan tidak ada benturan apapun diantara majelis dan forum ini.

Untuk diketahui, terhadap polemik sampradaya non-dresta Bali itu, sudah ada sikap tegas dari PHDI dan MDA di Bali, yang mengeluarkan SKB PHDI-MDA tanggal 16 Desember 2020, yang membatasi pengembanan ajaran sampradaya non-dresta Bali di Pura dan wewidangan-nya, Wewidangan milik Desa Adat, tempat umum seperti pantai, lapangan dan jalan raya. Ini sepenuhnya menjadi kewenangan lembaga PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan di Masyarakat) yang ‘’leading sector’’nya adalah Kejaksaan Agung dan jajarannya sampai di Kejaksaan Negeri Kabupaten dan Kota untuk menangani keberadaan Hare Krishna dan Sai Baba, serta sudah ada rekomendasi Komnas HAM RI tertanggal 27 Agustus 2021. Hanya saja, sudah hampir setahun sejak dikeluarkannya rekonedasi tersebut, belum ada lembaga yang disebutkan di dalam rekomendasi Komas HAM RI itu (seperti Gubernur Bali, dan lainnya), melaksanakan rekomendasi tersebut.