Dalam Perda RTRW Prov. Bali, Ketinggian bangunan tidak boleh melebihi 15 meter, atau melebihi ketinggian pohon kelapa.  Mengapa pohon kelapa? Kenapa tidak pohon lain seperti pohon bambu, duren, beringin atau pohon gaharu?. Dan apa pula yang menjadi pemikiran para bijak pencetusnya?

Tanpa bermaksud mendahului, apalagi menggurui, saya coba renungkan dengan sembarang. Pohon kelapa adalah salah satu pohon yang multi guna. Mulai dari akar, batang, buah, daun, hingga lidinya, bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pohon kelapa mungkin salah satu pohon yang berdampak luas bagi kehidupan. Sebut saja, mulai dari makanan khas Indonesia menggunakan santan sebagai campurannya. Halaman rumah dan jalanan menjadi bersih karena ada sapu lidi. Rumah tradisional tahan gempa juga terbuat dari batang pohon kelapa. Bahkan, pedagang juga hidup menjual es kelapa muda. Akar kelapa dipahat menjadi kerajinan cantik yang mahal. Jutaan ketupat pun dibuat, menggunakan dauh kelapa.

Pohon kelapa benar-benar lekat dengan hidup dan kehidupan manusia. Manusia yang hidup pasti butuh kelapa, dan kelapa yang hidup bisa menghidupi manusia. Hubungan yang sangat harmonis, hubungan yang menciptakan kesadaran bahwa; “Hidup berasal dari Kehidupan”. Yang kemudian membuat manusia menjadi santun, adab, bijak, dengan semua kehidupan. “Tanpa ketamakan, tanpa kerakusan?” Saya tidak tahu apakah istilah ini setara dengan “Keadilan” dan ‘Kedaulatan yang bermartabat? Yang jelas, pohon kelapa benar-benar pohon yang memiliki aspek sosial, ekonomi dan juga industri di seluruh bumi nusantara.

“Pantas saja sosok Ismail Marzuki (1814-1958) mengungkapkan kecintaan dan keindahan alam dan pulau-pulau di Indonesia dalam lagu “Rayuan Pulau Kelapa”. Lagu yang melegenda dan terkenal dan sepanjang masa”.

Kini di Bali, pohon kelapa dan bangunan, jika di renungkan lebih jauh ternyata melahirkan dua kutub pemikiran, kearifan dan juga kekuasaan, saling berhadap-hadapan. Dibatasinya ketingian bangunan (gedung) di Bali maksimal 15 meter atau tidak melebihi pohon kelapa, ternyata tersurat dan tersirat bahwa; manusia Bali harus menyadari akan batas-batas (Terukur), mana yang boleh dan tidak boleh (aturan main/awig-awig), relasi hidup dan kehidupan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Sang Pencipta (Tri Hita Karana).  Setiap pembangunan  harus merujuk pada batas-batas diri atau tubuh (Angga). Tubuh yang lain (Makrokosmos) juga disebut buana, bumi, tanah, atau ibu pertiwi. Diri manusia dan tanah harus selaras, seiring sejalan, saling hidup menghidupi. Makanya masyarakat adat Bali tidak bisa lepas dari tanah, tanah yang melahirkan asal usul. Lupa akan asal usul sama dengan lupa diri, lupa dengan segalanya dan seterusnya.

Jadi mengenal spirit pohon kelapa, membantu manusia adat Bali mengenal hidup, mengenal kemampuan diri untuk mengelola hak-hak atas tanah. Budaya yang menjadikan pulau Bali sebagai pulau sosial, ekonomi dan industri yang berjalan seimbang dan bermartabat. Toh juga apa yang ada sekarang ini,  Bali sudah disebut “Pulau Sorga” dalam panji-panji pariwisata yang mendunia. Pariwisata budaya, yang menghidupi jutaan tenaga kerja  dan menarik jutaan wisatawan. Masih belum cukupkah itu?

Jadi, sesunguhnya, konsep kesejahteraan masyarakat adat Bali bukanlah berapa pertumbuhan PDRB, bukan juga berapa besar GNP, dan bukan berapa besar UMR, dan bukan berapa persen angka-angka pertumbuhan ekonomi, seperti indikator kemiskinan “Impor” yang dipakai selama ini, yang ujung-ujungnya utang luar negeri.

Konsep kesejahteraan bagi masyarakat adat di Bali adalah “kedamaian buat semua makhluk di muka bumi”, kesetaraan, pemerataan, dan keadilan lahir batin. Walaupun ada beberapa perkembangan  pembangunan dan inovasi teknologi, perubahan tetap memungkinkan dilakukan, sepanjang motif dan tujuannya (Visi dan Misi) tetap sejalan dengan spirit dan kesadaran kearifan di atas.

Dan apa yang terjadi jika batas ketinggian bangunan 15 meter di langgar ? benarkan akan menimbulkan persoalan? Sebagai contoh : bangunan pencakar langit. Jika itu adalah apartemen pasti kebanyakan orang Bali tidak sanggup membelinya, Jika perncakar langit itu dihuni oleh rimbuan orang, maka akan dibutuhkan rimbuan liter air. Akan dibutuhkan banyak sekolah tambahan, rumah sakit, pertokoan, transportasi public, jalan raya, arela parker, penegakan hukum dan seterusnya. Jika gedung pencakar langit itu adalah hotel bintang lima, bukankan Bali sudah kelebihan 9.000 lebih kamar hotel berbintang yang tidak laku? Data menunjukan, untuk merawat satu kamar hotel berbintang, rata-rata  membutuhkan 2000-3000 liter air per hari, untuk MCK, Kebun, Kolam renang, laundry, dan lain sebagainya (Walhi Bali, 2008).

Bali sudah kekurangan air, baik “air sumber” dan “air baku”? Sementara air tanah, pajaknya begitu tinggi? Petani sawah pun tidak dapat air irigasi, lahan pertanian produktif terus menyempit, ketahanan pangan benar-benar menjadi tantangan. Beban daya listrik pun sering menjadi persoalan. Kriminalitas pun berlomba di koran-koran. Dan jika ketinggian bangunan ini dipaksakan, “kekuasaan” dari manakah yang mencekokinya? Bukankah rakyat dan masyarakat adat Bali jelas-jelas menolaknya? Kekuasaan yang melampoi kesadaran, kekuasaan yang membingungkan.

Yah, semoga semua ini adalah ujian. Atau sebaliknya adalah pertarungan. Yang jelas pohon kelapa bukan sekedar pohon, tapi pohon kehidupan yang masih diyakini spiritualitasnya. Pohon yang mampu membendung “ketamakan”.  Semoga Kekuasaan itu tidak datang dari masyarakat adat Bali sendiri. Atau sebaliknya, datang dari kaum liberalisasi. “Jika ya, maka semua akan terbebani, menuju negara yang “berdaulat tanpa kemartabatan”.

Made Nurbawa

Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bali