DENYUTnadi kehidupan kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali dalam konstruksi Pesta Kesenian Bali (PKB) selama ini terus berkembang mengikuti peradaban global dan kemajuan teknologi canggih. Maka itulah, beragam kegiatan dalam konstruksi PKB selama ini, kini dan akan datang selalu dituntut mampu mengadaptasi gejolak sosial dari realitas masyarakat sebagai refleksi penajaman hati nurani dan penghalusan budi pekerti. Mengingat kebudayaan merupakan aktivitas kreatif inovatif seni budaya masyarakat terutama kalangan seniman sebagai refleksi dari apresiasi perilaku kehidupan kesehariannya.

Pada saat ini, kreativitas seni budaya dalam konstruksi PKB ke-34 mengusung tema Paras-Paros: Dinamika dalam Kebersaman. Beragam kegiatan seni budaya dengan beragam kesenian pun disajikan selama sebulan penuh, sejak 10 Juni hingga 9 Juli mendatang. Guna menggugah kesadaran publik dalam meningkatkan upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya sebagai indikator penguatan jati diri bangsa dan karakter bangsa, serta daya saing bangsa secara global dalam industri pariwisata dunia.

Dalam konteks itu, konstruksi PKB saat ini berupaya menampilkan sajian seni budaya berbasis kontemporer dalam bentuk kolaborasi seni. Sebagai perpaduan keragaman seni budaya dalam sebuah pertunjukan seni yang sarat makna, yakni cerdas, bernas dan menyentuh. Sehingga, perkembangan seni budaya yang selama ini terkesan terkotak-kotak seakan meleburkan diri menjadi satu kesatuan utuh dalam sebuah pemanggungan sebagai sajian hiburan edukatif yang komunikatif dan konstruktif.

Paras Paros

Kolaborasi seni dalam bentuk kerjasama, interaksi dan penggabungan antara unsur seni maupun pelaku seni (seniman) baik lokal, nasional, maupun dunia yang menghasilkan suatu garapan pertunjukan seni budaya kebaruan ini bertujuan meneguhkan paradigma baru dari kesadaran masyarakat dalam membangun tata nilai dan perilaku budaya yang paras paros serta mampu mengagungkan citra adilihung ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali.

Selain itu, kreativitas kreatif inovatif dalam berkesenian nantinya mampu tumbuh dan berkembang menunjukkan identitas dan jati dirinya sebagai unggulan tersendiri. Sebagai sebuah harapan sekaligus tantangan bagi kemajuan dan perkembangan denyut nadi kehidupan seni budaya dalam konstruksi PKB akan datang terhadap perubahan perilaku masyarakat konsumtif yang religiusitas dan spiritualitas. Dibalik masih minimnya sarana prasarana dari perlengkapan dan peralatan pemanggungan yang layak dan memadai serta adanya tekanan dari persekusi etnisitas masyarakat dari kepentingan kelompok tertentu dalam ekologi desa pekraman yang cenderung mengejar keuntungan (profit) belaka berbasis fanatisme egoisme sektoral yang terkooptasi budaya kapitalisme global.

Faktanya, masih maraknya aksi pelanggaran hukum negara terkait kepentingan hak publik, seperti pengaplingan ruas jalan sebagai lahan parkir liar hingga memicu kemacetan dan kesemrawutan. Tak pelak keindahan estetika Kota Denpasar sebagai kota budaya pun menjadi kehilangan ruh dan  taksunya. Celakanya, realitas ini seakan menjadi politik tontotan publik dunia. Sungguh sanagat ironis sekali, bukan. Padahal, pemerintah sedang giat-giatnya mengimplementasikan program budaya clean and green dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa, dan  bernegara, serta bermasyarakat berlandaskan UUD’45 dan Pancasila, yang berbhineka tunggal ika.

Kritisi Akademis

Dalam pandangan guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Dibia, MA menegaskan bahwa beragam perubahan yang telah dikonstruksi dalam PKB tahun ini secara konseptual di atas kertas sudah sangat ideal, tapi justru cukup disayangkan kenapa dalam implementasinya tidak pernah mampu terealisasi dengan baik dan sesuai dengan harapan bersama. Pasalnya, sebagian besar nomor kesenian dalam bentuk kolaborasi seni unggulan yang semestinya mampu tampil spektakuler dan elegan menjadi kurang greget dan bahkan seolah kehilangan ruh dan taksunya.

Sebut saja, misalnya, pementasan kolaborasi seni bertajuk teaterikal musik ethnic fusion [XXX] and friends di panggung terbuka, Ardha Candra, Arts Centre Bali, Denpasar, Sabtu (23/6) lalu, yang terkendala sound system dan lighting. Padahal, sejatinya pengadaan perlengkapan dan peralatan pemanggungan dalam PKB tahun ini telah menghabiskan dana cukup fantastis yang diambilkan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Bali hingga mencapai Rp.21,1 miliar lebih.

Begitu pula, dengan pementasan parade lagu daerah Bali yang digelar selama tiga hari berturut-turut mulai 19-21 Juni lalu terkesan cukup glamour dan bermandi cahaya, tapi sayang tanpa desahan suara yang memadai sesuai harapan, karena terkendala teknis sound system. Dalam kata lain, pementasan bermandi cahaya tapi tanpa sentuhan suara yang dinamis dan harmonis. Tak pelak, penonton dari kalangan masyarakat pencinta seni budaya Bali pun sontak kecewa, karena tidak dapat mengapresiasi secara utuh atraksi dari para duta seni daerah yang tampil dalam parade lagu daerah Bali tersebut.

Di samping itu, perilaku masyarakat pencinta seni budaya yang tidak disiplin dengan memadati dan menutup akses pagelaran (panggung) saat mengapresiasi penampilan para seniman baik lokal, nasional maupun dunia juga turut menjadi kendala serius dalam menciptakan sebuah pagelaran seni pertunjukan yang berkualitas dan berstandar global. Dampaknya, konstruksi PKB saat ini terkesan masih tersandera persoalan klasik, meskipun sejatinya upaya perubahan telah dimaksimalkan melalui rapat evaluasi harian dari kepanitian, mulai dari seksi pagelaran, keamanan, dan lainnya. Rupanya, aksi kepatuhan itu hanya sekadar retorika saja.

Tantangan

Menyikapi realitas itu sudah semestinya para pihak terkait yang terlibat dalam proses pengonstruksian seni budaya dalam PKB saat ini maupun akan datang harus mampu menciptakan perubahan yang lebih konkret dengan beragam kebijakan ekstrem. Guna menciptakan suasana yang kondusif, interaktif, komunikatif, dan rekreatif sehingga konstruksi PKB nantinya mampu tampil terdepan sebagai media edukatif yang mencerahkan dan mencerdaskan serta menyejahterakan sesuai dengan tuntutan perubahan dan perkembangan global.

Dengan sisa waktu sepekan ke depan ini setidaknya konstruksi PKB tahun ini harus menunjukkan perubahan yang lebih konkret dan nyata bagi upaya menguatkan ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali. Setidaknya, dalam penampilan drama musikal modern Pramusti Bali yang mengangkat kisah cerita legendaris Sampek Ingtay, Jumat (6/7) nanti beragam kendala terkait sound system dan lighting dapat diatasi dengan lebih baik. Artinya, fasilitas mewah yang telah disediakan terkait dengan segala perlengkapan dan peralatan dalam konstruksi PKB saat ini dapat dioptimalkan dan betul-betul memadai sesuai dengan peruntukan dan keperluannya. Supaya detik-detik penutupan dari pementasan aneka ragam kesenian dalam konstruksi PKB tahun ini, Senin (9/7) mendatang mampu memberi kesan dan citra yang lebih baik dari tahun sebelumnya.

Harapan

Di samping itu, segala perubahan yang telah mencitrakan keagungan nilai adiluhung terhadap ruh dan taksu dari konstruksi PKB saat ini seperti adanya kebijakan areal kampus ISI Denpasar terbebas dari parkir berdalih kepentingan persekusi etnisitas masyarakat dari kelompok tertentu dalam ekologi desa pekraman dapat diamankan secara sistemik agar mampu memuliakan semangat kreatif para seniman secara berkelanjutan di masa mendatang. Ini karena para seniman merupakan tokoh utama dan sangat vital bagi denyut nadi keberlangsungan dari kehidupan seni budaya dalam konstruksi PKB selama ini, masa lalu, kini dan akan datang. Selain itu, kampus ISI Denpasar sebagai wahana edukasi seni budaya yang bermartabat dan berkeadaban, dalam mencetak karakter dan kepribadian bangsa yang berbudaya serta memiliki daya saing global.

Begitu juga, dengan program shuttle bus dan sarbagita gratis yang telah menjadi program peningkatan pelayanan prima bagi kepentingan publik dalam konstruksi PKB tahun ini sudah semestinya terus ditingkatkan sebagai solusi alternatif yang lebih berbudaya dalam melakukan perubahan secara signifikan dan holistik serta komprehensif terhadap budaya salah kaprah yang terlanjur tumbuh subur dan telah membumi dalam kehidupan masyarakat selama ini. Artinya, sebagaimana halnya program ISI Denpasar terbebas dari parkir, memang sudah sepatutnya program shuttle bus dan sarbagita gratis ini harus dijadikan program tetap dalam konstruksi PKB akan datang. Intinya, dengan alasan apapun kedua program strategis ini, yakni ISI Denpasar terbebas dari parkir serta shuttle bus dan sarbagita gratis tidak boleh dipangkas, melainkan mesti dibuatkan peraturan khusus yang dapat menjaga kebijakan tersebut secara sistemik dan berkelanjutan dalam konstruksi PKB selama-lamanya.

Dengan demikian, beragam kreativitas seni budaya dalam konstruksi PKB ke depan selain mampu memuliakan keagungan tata nilai adiluhung ruh dan taksu kebudayaan bangsa juga dapat menjadi tolok ukur dalam mengubah paradigma berpikir kritis masyarakat yang cerdas, bernas dan menyentuh sesuai tuntutan perubahan dari peradaban dan kemajuan teknologi global.(*)

* )I Nyoman Wija, SE, Ak

*) Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer sebuah Media Harian di Bali, yang juga Aktivis Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya dan Karyasiswa Kajian Budaya Unud Denpasar.