Oleh: I Gde Sudibya
Sebagai mana diberitakan sejumlah negara yang menunjukkan tanda-tanda mulai berhasil mengendalikan pandemi Covid-19 yang berupa kurva trend virus ini terus menurun, seperti: Korea Selatan, Thailand, Jerman dan Italia. Dan, secara perlahan negara negara tersebut mulai melakukan relaksasi/pelonggaran pembatasan sosial. Dan bahkan liga sepak bola sudah digelar di Jerman.

Bundesliga mulai berlangsung, ditandai oleh kemenangan  Borussia Dormund 4 – 0 atas Schalke ( 17/5 ). Kompas ( 17/5 ). Jika menyimak keberhasilan  dari : Korea Selatan, Thailand dan juga Taiwan dalam menanggulangi pandemi, secara garis besar kebijakan yang ditempuh petama, memberikan respons  cepat sejak dini setelah ditemukan kasus.Contohnya,Taiwan segera menutup penerbangan Wuhan – Taipeh untuk menghentikan potensi penularan. Demikian juga respons cepat dari Thailand.

Kedua, segera melakukan secara massif, apa yang disebut dengan 3 T yakni trace ( telusuri ), testing ( test ) dan teraphi ( pengobatan ), yang dilakukan oleh Korea Selatan dan kemudian Thailand.
Ketiga, kecepatan dan kesigapan respons masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan secara tertib dan disiplin, yang dicontohkan oleh Taiwan, sehingga negara ini tercatat paling berhasil menanggulangi pandemi. Jumlah terpapar relatif kecil, diperlukan waktu hanya 17 hari untuk menghentikan penularan,  tidak melakukan lock down, aktivitas sekolah dan ekonomi tetap berjalan, events olah raga tetap berlangsung tetapi tanpa penonton, karena mengikuti secara ketat protokol kesehatan.
Tantangan untuk Indonesia
Di masa puncak pandemi minggu ke 3 dan minggu ke 4 bulan Mei ( menurut prediksi Tim Akhli  yang berada di Tim Nasional Penanggulang Pandemi  dan juga juga para akhli epidemiologi dan bio statistik FKM.UI.), pemerintah mewacanakan untuk ” berdamai ” dengan Covid-19. Istilah ini dinilai kurang pas dalam pandangan akhli epidemiologi FKM.UI.
Syahrizal Syarif yang mengatakan kata berdamai tidak  tepat digunakan  karena  seolah-olah mengaburkan fakta yakni relasi virus Corona dengan manusia sebagai indung semangnya. Lebih lanjut epidemiolog UI ini mengatakan: ” Kata berdamai seolah Covid-19 akan menjadi endemik di kehidupan manusia sehingga kita  seolah-olah harus mengalah hidup berdampingan dengannya dalam waktu lama. Saya rasa tidak demikian”.
Dari perdpektif strategi manajemen dapat dikatakan bahwa: pemerintah pindah/ganti strategi dari strategi perang keras ( hard war strategy ) ke strategi lunak ( soft war strategy ). Strategi ” perang ” keras diindikasikan  dari Kebijakan PSBB yang diatur dalam SE.Menteri Kesehatan tentang penanggulan pandemi. Perpu 1 tentang Penyelamatan Keuangan Negara untuk Mengatasi Pandemi dengan pendanaan Rp.405 trilliun ditangkap oleh sebagian publik sebagai “perang ” yang dilakukan negara untuk melindungi warganya sesuai amanat konstitusi. Dan juga keputusan pemerintah untuk melarang mudik, upaya menghentikan pergerakan puluhan juta warga menjelang HR.Idulfitri.
Pilihan strategi lunak ( soft strategy ), diindikasikan dari terbitnya SK.Kementrian Perhubungan  yang membuka moda transportasi umum, pernyataan Ketua Tim Penanggulangan yang akan memperbolehkan tenaga kerja usia di bawah 45 tahun bekerja kembali, wacana ” berdamai ”  dengan vitus yang diulas si atas.
Dari terbitnya SK.Kementrian Perhubungan di atas, wacana  yang terus berkembang untuk melakukan pelonggaran  kegiatan sosial masyarakat, di tengah-tengah curve pandemi corona yang masih fuktuatif dan belum mengalami penurunan secara permanen, tertangkap kesan, dasar pikir dari pemerintah untuk menggeser strategi dari keras ke lunak.
Pertama, PSBB dan pengetatan sosial lainnya yang berlangsung lama akan berdampak sangat serius terhadap kondisi ekonomi rakyat dan risiko stabilitas sosial yang kemungkinan dibawakannya.
Kedua, tampaknya dana Rp.405 trilliun dalam Perpu No.1 tidak cukup untuk mendanai seluruh program sosial dan pemulihan ekonomi, sehingga roda ekonomi harus  segera digerakkan untuk menghindari resesi dan bahkan depresi ekonomi  dalam waktu dekat.
 Contohnys,  BI memperkirakan diperlukan dana talangan senilai Rp.580 trilliun bagi sistem perbankan untuk mendanai penundaan pembayaran angsuran selama 6 bulan.
Tantangan bagi pemerintah dalam soft strategy ini, dari perspektif manajem publik, menyebut beberapa diantaranya: a. Mencari titik keseimbangan ( equilibrium point ) dari trade off ( konflik ) antara: risiko kemanusiaan yang dibawakan oleh kebijakan pelonggaran dengan kemaanfatan sosial ekonomi dari relaksasi ydm.
b.Karena tugas negara harus melindungi warganya sesuai amanat konstitusi, protokol kesehatan terutama:pakai masker, jaga jarak, larangan untuk berkumpul ditegakkan secara ketat ( jika diperlukan dilakukan trobosan hukum untuk menjamin protokol kesehatan  ini diikuti dengan disiplin).
c. Etika kebijakan publik harus dijaga di tengah-tengah krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung, seperti: politisasi  bantuan sosial, dan sejumlah tindakan tidak  terpuji lainnya, dapat melahirkan  kebijakan publik yang keliru,  menjadi pangkal penyebab semakin menyebarnya virus.
d. Bertumbuhnya kesadaran bersama sebagai bangsa: kegagalan dan keterlambatan kita dalam menanggulangi pandemi, (di luar konsiderasi kemanusiaan. Itu berarti keterlambatan  pemulihan ekonomi, dan menyangkut image kita, kualitas  image bersama sebagai bangsa di dunia baru pasca pandemi. Sejarah akan mencatat ini, terutama nilai-nilai kepemimpinan  yang berhubungan dengan komitmen, dedikasi dan kesetiaan memegang amanah pubik.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom , konsultan manajemen strategi dan pengamat kebijakan publik.