Denpasar, (Metrobali.com)

Gubernur Bali I Wayan Koster dan Wakil Gubernur Cok Ace akan menyampaikan pidato Akhir Tahun 2022 : 44 Tonggak Peradaban Penanda Bali Era Baru”, Jumat (30/12/22). Pidato Gubernur Bali dengan tema “44 Tonggak Peradaban Penanda Bali Era Baru” sangat bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.

Hal itu dikatakan pengamat budaya dan sosial Jro Gde Sudibya menanggapi tema podato itu, Jumat (30/12/2022) di Denpasar.

Menurut Gde Sudibya patut diberikan catatan, peradaban Bali mana yang dimaksudkan oleh Gubernur Koster? Sementara dalam realisasi pembanunan di Bali justru terjadi Glorifikasi (membesar-besarkan) peran arak Bali dengan kandungan alkohol 35 – 40 persen, minuman sangat keras, yang dari segi ajaran agama Hindu, perbuatan mada (mabuk) sangat dilarang.

Selain itu, dalam membangun gedung bertingkat di Pura Besakih justru merusak bentang alam Besakih, dengan membuat bangunan komersiil, “ngungkulin” Pura Titi Gonggang dan bangunan dengan fungsi serupa berdekatan dengan Bencingah Agung.

Proyek PKB di Gunaksa Klungkung yang digadang gadang akan menjadi monumental jutru merusak alam perbukit dan bentang alam sungai Tukad Unda. Di mana dalam tarap pengurugan, telah menggerus Bukit Buluh, dan membuat resah warga pengempon Pura ring Bukit Buluh, dan juga pengempon Pura ring Bukit Sawan.

Sudibya mengatakan membangum ekonomi Bali tidak sesuai dengan konsep Trihita Karana masyarakat Bali. Proyek dengan paradigma lama pembangunan: targetnya pertumbuhan ekonomi tinggi, abai pada pelestarian lingkungan dan berpotensi meminggirkan masyarakat lokal, proyek jalan tol; Gilimanuk – Mengwi.

“Visi yang menjanjikan Danu Kertih, kesejahyetaan danau, tetapi faktanya Danau Batur tetap terlantar: pendangkalan, pencemaran dan rusaknya lingkungan,” katanya.

Kebijakan Gubernur Koster yang tak sesuai dengan misi mencerdaskan masyarakat Bali tak terwujud. “Di sini pemprop Bali mengamputasi sistem persekolahan Bali Mandara yang telah terbukti mengangkat para lulusannya dari jurang kemiskinan berkepanjangan,” katanya.

Dikatakan, masyarakat Bali sejak peradaban Bali Mula lebih dari 1.000 tahun lalu, melihat peradabannya secara seimbang: material – spiritual, skala – niskala, jangan diiming-imingngi dengan proyek yang bias phisik, merusak lingkungan, meminggirkan masyarakat secara ekonomi dan kemudian secara kebudayaan.

Hal senada dikatakan praktisi hukum Made Somya Putra. Somya mengatakan, hasil pembangunan gubernur Koster merusak bentang alam Bali. Ia mencontohkan Pura Pundukdawa. Tebing pura sudah dikikis untuk membangun pusat kebudayaan Bali. Ini selain merusak alam skala juga merusak alam niskala.

(SUT)