Denpasar (Metrobali.com)-

 

Saat ini isu yang berkembang di Bali dan telah memporak-porandakan persatuan dan kesatuan Krama Bali adalah isu tentang eksistensi Sampradaya. Sampradaya dikhawatirkan akan mengikis adat istiadat, dresta dan tradisi Krame Bali yang diwariskan oleh para leluhurnya. Isu ini sangat berbahaya bila pemerintah tidak memiliki kecakapan dan kepiawaian yang mumpuni untuk bersikap dengan bijak memberikan solusi cerdas bagi keutuhan dan ke”ajeg”an tanah Bali.  Dalam menghadapi isu ini, Krame Bali terpecah menjadi 3 kelompok, yakni kelompok pertama, adalah kelompok yang menolak kehadiran para Sampradaya. Kelompok ini dipimpin para Bendesa Adat yang memang diharapkan menjadi ujung tombak pelestarian adat Bali.Namun sayangnya sebagai ujung tombak Desa Adat tidak memiliki “tombak” itu sendiri.Bahkan sebagian besar pengaruh dari eksistensi adat itu kerap dijadikan alat politik kekuasaan. Kelompok kedua adalah kelompok Sampradaya itu sendiri, adalah kelompok yang membawa ajaran dan diduga ingin menerapkan pemahaman yang dapat mensimplifikasi ataupun mereduksi kearifan lokal seperti keberadaan dresta adat yang bahkan sebagian besar telah menjadi awig-awig dari institusi adat yang ada. Kelompok ketiga adalah kelompok Pemerintah sebagai Regulator yang selalu tidak pernah konsisten dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan kekuKebimbangan ataupun ambivalensi pemerintah sangat nampak, disatu sisi butuh isu agar dianggap peduli terhadap pelestarian adat, maka citra ini harus direbut melalui upaya merangkul desa adat. Tapi disisi lain agar “dianggap” Pancasilais maka perlu memberikan kebebasan orang untuk beribadah dengan pluralismenya. Untuk itu pemerintah “terpaksa” melakukan proses pembiaran terhadap upaya destruktif terhadap kelangsungan Desa Adat dan Dresta adat yang ada. Oleh karena itu,  tidak berlebihan jika ada dugaan, bahwa sesungguhnya Pemerintahlah pemicu dari kemelut ini. Bagaimana tidak? Mari kita coba urai dengan jernih. Seperti diketahui motivasi ataupun alasan masyarakat untuk lebih memilih “jalan” Sampradaya tentunya beragam. Dari yang ingin menghindari keruwetan ataupun mereka yang berupaya melakukan simplifikasi sampai dengan mereka yang menghadapi masalah kesulitan ekonomi atau dengan kata lain mereka yang merasa menjadi kelompok yang terpinggirkan secara ekonomi dan lebih kerennya dikenal sebagai kelompok marjinal kota. Singkatnya, hidup yg lebih efisien, baik itu terkait dengan waktu, biaya, prosesi ritual ataupun “pemahaman” menjadi alat parameter bagi masyarakat untuk membandingkan Sampradaya dengan Dresta Bali. Seperti kita ketahui maraknya konflik adat antara Desa Adat dengan masyarakat adat pada akhirnya menjadi pembenaran bagi sebagian masyarakat untuk mendiskriditkan atau mendegradasi peran dan eksistensi institusi adat sekaligus dengan dresta adat yang ada. Seperti halnya konflik Setra, ataupun carut marutnya kebijakan pungutan yang dilakukan oleh lembaga adat terhadap para “pendatang” dan segudang konflik lainnya. Dan puncak dari upaya mendegradasi eksistensi adat itu terjadi ketika Pemerintah dengan sadar melakukan proses pembiaran terhadap kehadiran Krematorium yang dengan kasat mata dapat dilihat mereduksi peran Desa Adat beserta Dresta Adatnya. Dan cilakanya saat ini Pemerintah daerah nampak memberikan dukungan kepada kelompok yang ingin mempertahankan “pemurnian” Dresta adat, tapi disisi lain membenarkan maraknya Krematorium yang meminggirkan peran dan eksistensi dresta adat itu sendiri. Sikap pemerintah yang “abu abu” dan tidak tegas itu memberi angin segar bagi mereka yang membawa ajaran seperti halnya beberapa Sampradaya, yang ingin “mereformasi” karena pada dasarnya ajaran dan tata cara ritualnya memiliki pemahaman dan pemaknaan yang berbeda dengan dresta adat yang ada di Bali. Hal ini dimulai dengan menggunakan ajaran “Ahimsa” sebagai senjata pamungkas untuk mereduksi prosesi dan pemaknaan Yadnya di Bali, dengan tidak memperbolehkan umat untuk menyakiti dan membunuh mahluk hidup. Makanya saat ini berkembang prosesi adat yang hanya cukup dengan menggunakan gambar binatang yang akan dikorban. PHDI Versi mahasabha xii bagaimana menyikapi fenomena itu? Apakah itu, baru sekadar retorika atau memang PHDI bersih dari Sampradaya? Berikut ini wawancara Nyoman Kenak (Ketua PHDI Bali) dan Putu Wirata Dwikora (Sekretaris PHDI Bali)  di metrobali podcast dengan tema : Perbedaan Cara Pandang Sampradaya dan Dresta Bali.

Jangan lupa : like, koment, share dan subcribe agar chanel ini terus berkembang di METROBALI PODCAST  dan SULTAN TV

 

Link Video : PHDI BALI VERSI MAHASABHA XII, BONGKAR KEBERADAAN SAMPRADAYA