Seorang buruh tani, mencabuti bibit padi untuk selanjutnya ditanam di areal persawahan Desa Kedungbetik, Jombang

Jakarta (Metrobali.com)-

Kunci kedaulatan pangan nasional ialah tumbuhnya kesejahteraan petani, kira-kira seperti itu indikator yang kerap diutarakan sejumlah pakar pertanian baik dari kalangan akademis maupun jajaran abdi negara belakangan ini.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menganggap, permasalahan yang kerap dihadapi petani antara lain pengelolaan pascapanen yang rendah, sempitnya kepemilikan lahan, infrastruktur yang kurang mendukung, hingga rendahnya tingkat pendidikan.

Koordinator Perencana Utama Bappenas bidang Ketahanan Pangan Budi Santosa menuturkan, cara efektif untuk meningkatkan kesejahteraan petani ialah dengan memberikan akses pendidikan dan kesehatan gratis.

“Kita mengetahui penghasilan petani tidak banyak, dan dari pemasukannya tersebut banyak teralokasi pada urusan pendidikan dan kesehatan. Akan lebih bijak jika pemerintah bisa mengeluarkan subsidi bagi mereka,” tutur Budi, menjelaskan.

Caranya dengan melakukan sejumlah pendekatan dengan target menaikkan kesejahteraan petani, baik pembebasan lahan atau memberi bibit gratis, ujarnya mencontohkan.

Selama ini sektor pertanian memberikan kontribusi yang cukup besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, yaitu sekitar 14-15 persen.

Untuk sektor perkebunan dan peternakan sekitar dua persen, perikanan tiga persen, kehutanan satu persen, dan tanaman bahan makanan 7,5 persen.

Selain itu, katanya, upaya lain yang bisa dilakukan untuk mewujudkan kedaulatan pangan ialah dengan memperluas atau memperbaiki kualitas lahan pertanian.

Sependapat dengan hal tersebut, pengamat ekonomi HS Dillon mengatakan kedaulatan pangan bisa diwujudkan dengan memperluas areal pertanian dan meningkatkan produktivitas tanaman.

“Produktivitas dapat dilakukan dengan menambah infrastruktur pendukung pertanian, antara lain irigasi, meningkatkan sarana produksi, seperti pupuk serta alat atau mesin pertanian,” kata Dillon di Jakarta.

Ia mengatakan bahwa sektor pertanian Indonesia juga membutuhkan dukungan dalam proses pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian lokal.

“Pemerintah perlu mengatur tata niaga produk pertanian, termasuk memperketat arus impor untuk menjaga harga produk pertanian lokal,” kata mantan Utusan Khusus Presiden RI untuk Penanggulangan Kemiskinan itu.

Sementara itu, walaupun terdapat kesamaan dalam memandang puncak dari sebuah kedaulatan pangan, namun kalangan akademis memiliki perbedaan dalam melihat permasalahan yang dialami kaum tani di Indonesia.

Pengamat pertanian Dwi Andreas Santosa mengatakan petani akan menjadi kunci kedaulatan pangan apabila mereka berperan aktif dalam mengembangkan pertanian, sekaligus didukung dengan sikap pemerintah melalui implementasi kebijakan di lapangan.

“Kuncinya ialah bukan dengan menempatkan petani sebagai objek kebijakan, tapi menempatkan mereka sebagai subjek,” kata Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Bogor itu.

Dia mencontohkan, petani bersama dengan peneliti atau pakar pertanian bisa memberikan penyuluhan kepada petani yang lebih muda agar terjadi tukar-menukar pengalaman atau transfer teknologi.

Andreas menganggap saat ini telah muncul kesadaran dari para petani terhadap peran mereka dalam pelaksanaan program pertanian yang dicanangkan Presiden Joko Widodo itu.

“Banyak petani yang bilang ke saya bahwa mereka mau kembali mengolah lahan, asalkan pemerintah mau melindungi harga jualnya di pasaran. Nah, yang terakhir disebut itu yang penting,” ujarnya lugas.

Selanjutnya, yang juga perlu diperhatikan ialah meningkatkan kesejahteraan petani agar muncul gairah untuk turut membangun kedaulatan pangan.

Sebaiknya, subsidi pupuk dan beras miskin (Raskin) diberikan dalam bentuk uang tunai, sehingga petani bisa mengelolanya untuk kepentingan program kedaulatan pangan.

“Subsidi itu sebaiknya diberikan ke petani secara tunai, agar bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi pangan,” kata pria yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia itu.

Defisit Pangan Terkait dengan luas lahan pertanian, jika pemerintah tidak mampu mengendalikan alih fungsi atau melakukan ekstensifikasi lahan maka produksi padi secara nasional diprediksi mengalami defisit pada 2025.

Sekretaris Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) Adang Saf Ahmad mengatakan saat ini alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian mencapai 100 ribu hektare per tahun.

“Pada 2017 produksi padi akan menurun dan 2025 akan defisit kebutuhan padi akibat alih fungsi lahan dan tak ada pembangunan sawah baru,” katanya.

Dia mengungkapkan, pada 2013 antara peningkatan produksi padi dan kenaikan kebutuhan konsumsi sudah sebanding dan pada 2017 akan terjadi penurunan laju produksi sementara konsumsi meningkat.

Pada 2015, tambahnya, produksi padi secara nasional diperkirakan mencapai 70,61 juta ton gabah kering giling (GKG), namun demikian tingkat alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian masih cukup tinggi.

Sementara itu, lanjutnya, sawah irigasi yang ada saat ini mencapai 7,1 juta hektare dengan kondisi 54 persen bagus sedangkan 46 persen kurang bagus.

“Untuk memproteksi produksi padi harus ada pembangunan sawah irigasi yang baru selain itu jaringan pengairan yang saat ini kondisinya masih baik juga perlu rehabilitasi,” katanya.

Menurut dia, tanpa ada proteksi terhadap produksi padi nasional maka pada 2017 akan mengalami penurunan hingga menjadi 66,02 juta ton GKG.

Sementara itu, tambahnya, jika kondisi tersebut terus berlanjut maka pada 2025 produksi padi nasional hanya sekitar 58,63 juta ton GKG sedangkan kebutuhan masih sebanyak 70,7 juta ton GKG atau terjadi defisit sekitar 12,1 juta ton.

Upaya Perbaikan Sejumlah tindakan pencegahan maupun upaya perbaikan telah dilakukan pemerintah untuk mendukung “kunci” tersebut agar mampu membuahkan kedaulatan pangan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian mengembangkan beberapa produk dalam bentuk varietas unggul padi dan inovasi alat mesin pertanian (Alsintan) untuk mendukung pencapaian swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang.

“Untuk varietas unggulan yang saat ini sedang kami kembangkan adalah jenis-jenis padi yang mampu menghadapi dinamika iklim seperti varietas inpari-30,” ujar Kepala Balitbang Pertanian Haryono.

Inpari-30, menurutnya, merupakan salah satu varietas unggulan padi yang sedang menjadi tren dan diandalkan sebagai “problem solving” perubahan iklim karena varietas tersebut memiliki ketahanan hingga 14 hari dalam rendaman air.

Selain Inpari-30, Balitbang Pertanian juga telah menghasilkan beberapa varietas yang menjadi favorit para petani seperti padi jenis Ciherang, IR-64, dan Makongga.

“Ciherang selama 10 tahun terahir ini menempati peringkat pertama dengan persentase 40 persen diantara jenis padi lain yang ditanam. Jenis padi ini ditanam di lahan seluas 14 juta hektare per tahunnya,” tutur Haryono.

Sedangkan untuk alsintan, Balitbang Pertanian berhasil mengembangkan sejumlah alat dan mesin yang sesuai dengan karakter lahan Indonesia seperti traktor kura-kura, traktor amfibi, dan jarwo transplanter.

Dengan seluruh inovasi dan teknologi yang telah dikembangkan, serta perkiraan iklim yang mendukung, Haryono yakin target produksi padi sebanyak 75 juta ton GBK dalam tahun ini akan tercapai.

Kembali pada Andreas, ia mengatakan perlu dibentuk Desa Mandiri Benih (DMB) pada tiap wilayah pertanian di Indonesia yang mampu mencegah kerugian petani ketika terjadi gagal panen.

“Tidak ada benih yang benar-benar unggul, beda lokasi akan beda hasilnya. Melalui DMB diharapkan petani lokal bisa mengonservasi benih sesuai kebutuhan,” kata guru besar Fakultas Pertanian IPB Bogor itu di Jakarta, Rabu (18/2).

Ia mengemukakan saat ini 78 persen benih tanaman hortikultura dan hampir 100 persen benih tanaman pangan telah dikuasai korporasi, sehingga kapasitas petani dalam menghasilkan benih semakin tergerus.

“Kapasitas mereka dalam menjaga keanekaragaman hayati pertanian semakin tergerus, semakin tidak berdaya. Ketergantungan mereka jadi tinggi,” katanya.

Untuk itu, Andreas menekankan bahwa diperlukan upaya keras dalam mewujudkan salah satu agenda program kedaulatan pangan nasional tersebut.

Dengan begitu petani mampu mandiri dalam mengelola dan memproduksi benih hingga melakukan pemuliaan tanaman, katanya menambahkan.

“Dalam konsep keilmuan langkah seperti itulah yang betul. Tidak ada benih Superman, satu jenis bisa bagus di semua tempat. Itu mustahil di alam,” katanya menegaskan.

Untuk itu pemerintah dan pihak terkait harus mengembangkan aspek lokalitas tersebut, sehingga menjadi konsep utama Desa Mandiri Benih. AN-MB