Rumah Petani

Denpasar (Metrobali.com)-

Guru Besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia mengatakan, petani Bali yang umumnya masih hidup di bawah garis kemiskinan memerlukan subsidi dan proteksi dari pemerintah.

“Subsidi dan proteksi itu dengan harapan biaya produksi dapat ditekan sekecil mungkin, sehingga hasilnya mampu bersaing di pasaran, sekaligus mampu mengangkat taraf kehidupan petani,” kata Windia dari Fakultas Pertanian yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Unud, di Denpasar, Selasa (29/4).

Ia mengatakan, sejumlah negara maju seperti Jepang tetap menerapkan mekanisme subsidi dan proteksi terhadap petani dan pertanian, sehingga bidang pertaniannya tetap eksis.

Oleh sebab itu Pemerintah Provinsi Bali serta sembilan pemerintah kabupaten dan kota hendaknya memberikan perhatian khusus terhadap petani, selain subsidi dan proteksi, juga menjaga kelangsungan air di irigasi untuk proses pertanian.

“Perhatian itu sangat penting mengingat di sejumlah subak, air irigasinya terputus atau tersumbat akibat adanya pembangunan proyek di bagian hulu, sehingga mengganggu irigasi subak di bagian hilir,” ujarnya.

Kasus itu dialami banyak subak, terutama di wilayahnya yang sebagian telah beralih fungsi untuk permukiman maupun pembangunan fasilitas lainnya, sehingga kesinambungan air irigasi yang masih diperlukan di bagian hilir terputus.

Windia juga menyoroti kesenjangan pembangunan antarkabupaten/kota di Bali semakin timpang, sehingga ekonomi hanya terpusat di Bali selatan, yakni Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.

“Sedangkan Bali timur, Bali barat dan Bali utara sangat lamban, sehingga perlu upaya dan terobosan untuk menyeimbangkan pembangunan di Pulau Dewata,” katanya.

Daerah-daerah yang selama ini belum berkembang seperti di Bali selatan tidak mesti melibatkan investor untuk membangun fasilitas pariwisata maupun bandara internasional di Kabupaten Buleleng, Bali utara.

“Daerah-daerah lain itu dapat mengembangkan sektor pertanian dalam arti luas untuk menopang pariwisata di Bali selatan, tidak seperti selama ini keperluan hasil pertanian itu mendatangkan dari luar Bali maupun impor,” ujar Prof Windia.

Ia menilai, menambah pembangunan hotel di Bali bukan jalan yang terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat, karena pengalaman selama ini lebih dari 50 persen pendapatan sektor pariwisata kembali mengalir ke luar Bali.

“Pendapatan itu hanya lewat saja di Bali, namun dampak negatif dari berkembang pesatnya pariwisata Bali itu sangat besar, terutama para pendatang yang ingin mencoba mengadu nasib sehingga menimbulkan tempat-tempat kumuh,” ujar Windia.

Untuk itu pembangunan hotel dan fasilitas pariwisata hendaknya dibatasi, sesuai daya dukung Bali secara ideal.

Jika bercermin dari hasil penelitian dan pengkajian SCETO, konsultan pariwisata dari Prancis tahun 1975, Bali maksimal bisa menampung pembangunan 24.000 kamar hotel berbintang untuk menjaga keseimbangan daya dukung Bali.

Namun kenyataannya di Bali kini telah dibangun lebih dari 55.000 kamar hotel berbintang belum lagi vila yang menjamur hingga ke pelosok pedesaan atau dua kali lipat daya dukung yang ada.

Dengan demikian Bali sudah sejak dulu seharusnya melakukan moratorium terhadap pembangunan fisik terkait kepentingan pariwisata, ujar Windia. AN-MB