PERHELATAN aneka ragam sajian seni pertunjukan budaya dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun ini telah memasuki episode ke-35 tahun. Bahkan dalam pelaksanaannya tahun ini, PKB seakan menjadi media alternatif menuju harmoni jiwa di tengah gejolak hajatan politik berupa pesta demokrasi pemilihan kepala daerah, Gubernur Bali yang telah menguras energi dan menyedot anggaran negara hingga mencapai angka miliaran rupiah lebih. Selain itu, juga dengan semakin maraknya kisruh hukum terkait fenomena korupsi di kalangan elite penguasa pemangku kebijakan maupun di kalangan masyarakat dalam birokrasi desa pakraman.

 Beragam pujian selalu dilontarkan para elite penguasa pemangku kebijakan mulai dari tingkat daerah (gubernur) maupun pusat (presiden) dalam sambutannya. Tepatnya, saat acara serimonial dari pelepasan pawai sekaligus pembukaan PKB setiap tahunnya. Begitu pula dengan PKB tahun ini, yang seakan selalu diwarnai sentuhan pujian sarat makna dan pesan moral.

 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam sambutannya saat membuka PKB tahun ini di panggung terbuka Ardha Candra, Arts Centre Bali, Denpasar, Sabtu (15/6) bahkan dalam bahasa politik budayanya secara santun mengakui sangat bangga dengan seniman dan masyarakat Bali. Baginya, tema Taksu yang dimaknai sebagai upaya membangkitkan daya kreatif dan jati diri dianggap sebagai tema yang sangat tepat di tengah dinamika kehidupan masyarakat Bali kekinian.

 Menurutnya, tema ini bisa memberikan dorongan semangat dan motivasi kepada seniman dan budayawan, serta masyarakat luas agar terus berkreasi dan melestarikan seni budaya bangsa. “Dari sembilan kali saya membuka PKB, saya mempunyai kesan tampilan seni dan budaya Bali semakin indah, menarik, sarat pesan moral. PKB dari tahun ke tahun makin meriah dan suskes. Terima kasih seniman, budayawan dan masyarakat Bali. Kami semua bangga,” pujinya.

 Diakuinya, PKB tidak hanya menjadi ajang menampilkan puncak budaya dan kreativitas masyarakat Bali, tetapi juga masyarakat Nusantara. PKB juga sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk yang tetap menghormati perbedaan. SBY bahkan sangat berharap supaya PKB bisa menjadi ajang apresiasi budaya bertaraf internasional. “Kepada para peserta saya harapkan mampu menjadikan PKB sebagai wahana apresiasi budaya bertaraf internasional sekaligus memajukan persahabatan dan kemitraan bangsa Indonesia dan bangsa lain di dunia,” pintanya.

 Dalam konteks itulah, presiden SBY mengingatkan betapa pentingnya upaya melestarikan seni dan budaya nusantara di tengah kehidupan modern yang dinamis. Makin intens interaksi dengan globalisasi, justru upaya pelestarian seni dan budaya makin penting. Dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman berbangsa. Kemajemukan bangsa dan perbedaan di satu sisi merupakan rahmat, namun di sisi lain tentu harus dikelola dengan arif dan bijaksana. Agar tidak timbul hal-hal yang dapat merugikan bangsa seperti terjadinya perpecahan. “Kita semua wajib menjaga persatuan dan kerukunan di tengah keberagaman. Bangsa ini harus tegas dan keras kepada siapa saja yang ingin merusak kerukunan dan toleransi. Semua pemimpin punya tanggung jawab menjaga kerukunan dan toleransi,” tegasnya

 Sementara itu, gubernur Bali, Made Mangku Pastika, dalam sambutannya dengan gaya komunikasi politik budayanya pun menegaskan bahwa ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) dapat menjadi wahana untuk menunjukkan keagungan peradaban masyarakat Pulau Dewata di dunia internasional. “PKB juga menjadi bagian integral dalam pembangunan masyarakat Bali secara menyeluruh,” katanya.

 Diakuinya, PKB dapat menjadi wahana untuk menunjukkan keagungan peradaban masyarakat Pulau Dewata di dunia internasional. Dengan kreativitas tinggi serta didukung integritas nilai luhur dalam berkarya akan tercipta budaya seni yang agung sebagai jati diri masyarakat Bali sesungguhnya. Tentunya, dengan tetap memegang teguh kearifan lokal di tengah derasnya arus global dan modernisasi kehidupan sosial kemasyarakatan.

 Namun, sesungguhnya aneka ragam kegaduhan komunikasi politik budaya yang senantiasa mewarnai setiap pelaksanaan PKB selama ini terkesan diabaikan. Bahkan, seakan terjadi praktik pembiaran serta tidak ada kemauan kuat dan niat tulus iklas tanpa pamrih untuk menuntaskannya. Padahal, fenomena tersebut telah menjadi rahasia publik secara bertahun-tahun lamanya. Buktinya, beragam kebijakan yang telah ditetapkan seakan hanya mampu menjadi macan kertas, yang selalu menarik dalam konteks wacana politik semata. Tapi, seakan tidak pernah mampu terlaksana dalam kenyataan di tengah masyarakat desa pakraman sebagai realitas sesungguhnya.

 Implikasinya, dalam konteks ini kegaduhan komunikasi politik budaya tersebut terkesan menjelma menjadi “kanker budaya” yang sengaja dikembangkan secara terus-menerus, sehingga mengubur keindahan perilaku masyarakat dalam kemuliaan dan kesadaran berbudaya yang beretika dan sesuai tatanan nilai adiluhung berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat. Sehingga, taksu PKB tahun ini pun menjadi semakin terancam dan tersandera keindahan perilaku dari egoisme sektoral dari kelompok internal desa pakraman.

 Tak pelak, upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya dalam PKB di masa depan pun dapat dipastikan akan semakin terpuruk dan bagaikan telur di ujung tanduk. Karena pemaknaan dari implimentasi sistem otonomi daerah yang sudah terlanjur terstruktur secara kebablasan, salah kaprah dan cacat moral.

 

Paradoks Kebijakan

 Dalam beberapa tahun terakhir ini, Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar memang telah mengalami sejumlah perubahan dari pembangunan fisiknya, seperti perbaikan tembok pagar, renovasi gedung Ksirarnawa, Wantilan, dan Ardha Candra, termasuk pembuatan parkir untuk seniman di depan sebelah timur panggung terbuka Ardha Candra. Begitu juga alokasi anggaran untuk mendukung pelaksanaan kegiatan seni budaya tahunan dari PKB selalu ditingkatkan setiap tahun, sehingga seniman diharapkan dalam menyajikan karya terbaiknya yang berbasis kearifan budaya lokal khas kabupaten/kota. Bahkan, hampir setiap tahun termasuk dalam PKB ke-35 kali ini para seniman telah berupaya maksimal menyajikan karya terbaiknya.

 Namun, perubahan tersebut masih terkooptasi kepentingan egoisme sektoral dari kelompok internal desa pakraman yang cenderung mengabaikan kepentingan khalayak publik, masyarakat luas secara beradab dan bermartabat. Seperti adanya “lubang tikus” yang selalu mengonstruksi ajang PKB sebagai media alternatif berorientasi profit atau keuntungan bagi kepentingan personal maupun kelompok atau golongan tertentu. Tak pelak, secara masif stigma negatif PKB sebagai ajang pasar malam semakin membumi dan sangat sulit untuk dihapuskan. Hal ini akibat penafsiran yang keliru dan salah kaprah terhadap pengejawantahan makna demokrasi dari otonomi daerah.

 Di samping itu, ironisnya aksesbilitas publik terkait sarana prasarana jalan yang menjadi bagian paling vital dan utama bagi kepentingan khalayak publik, masyarakat luas menuju Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar masih terkooptasi egoisme sektoral dari kelompok internal desa pakraman berbasis praktik premanisme budaya. Dampaknya, penguatan apresiasi masyarakat luas mulai dari tingkat lokal, nasional, maupun asing, terhadap beragam kegiatan seni budaya dalam pelaksanaan PKB selama ini seakan tak pernah tersentuh perubahan. Meskipun telah diupayakan pengoperasian angkutan publik berupa shuttle bus gratis dengan menyediakan tempat parkir di lapangan timur Puputan Renon, Denpasar dan lahan parkir GOR Ngurah Rai, Denpasar.

 Sayangnya, kesadaran atas budaya tertib dan taat aturan yang berpihak kepada kepentingan khalayak publik, masyarakat luas acapkali selalu dikalahkan oleh tekanan keindahan perilaku egoisme sektoral dari kelompok internal atas dalih kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu di tengah desa pakraman, terutama di sekitar Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar.

 Sehingga, segala wujud perubahan yang telah dikonstruksi untuk mengubah stigma PKB sebagai pasar malam semakin sulit untuk dihapuskan. Selain itu, cita-cita mahadasyat dalam upaya menjadikan ajang PKB sebagai media alternatif menuju keagungan peradaban dunia dan diplomasi budaya global pun dicap hanya sekadar terobosan politik pencitraan secara pragmatis atas dasar kepuasan nafsu finansial semata. Di samping itu, semangat daya kreatif dan jati diri para seniman pun menjadi termarjinalisasi di tengah gemerlap pasar malam dan bahkan semakin tersandera oleh keindahan perilaku egoisme sektoral kelompok internal dari praktik premanisme dalam desa pakraman.

 Hal ini karena, sumber masalah yang sesungguhnya belum berani disentuh maupun dituntaskan secara lebih serius melalui proses penegakan hukum yang berkeadilan tanpa pandang bulu dengan mengutamakan kepentingan khalayak publik, masyarakat luas. Akibatnya, terkesan bahwa negara absen dalam hal ini, dan seakan terjadi ketakutan untuk melawan tekanan egoisme sektoral dari kelompok internal desa pakraman yang bersifat pragmatis dan berorientasi profit semata demi memuaskan nafsu kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu.

 Perlu Ketegasan Politik Budaya

 Memang setiap perubahan menuju arah perbaikan selalu identik dengan kegaduhan komunikasi politik budaya dan kritik dalam sosial media, yang kecenderungan dianggap dapat memicu timbulnya disharmoni, konflik, dan emosi negatif dari kelompok internal tertentu dalam desa pakraman. Ironis memang, ingin melakukan perubahan tapi acapkali tidak mau mengikuti perubahan ataupun diubah. Padahal, sesungguhnya kritik untuk perubahan menuju arah perbaikan seringkali menciptakan ide dan gagasan cemerlang yang lebih beradab dan bermartabat dalam etika sosial berbangsa, dan bernegara serta bermasyarakat.

 Jika egoisme sektoral dari kelompok internal dalam desa pakraman secara terus menerus dibiarkan mengonstruksi pesona taksu dari “kanker budaya” di ajang PKB berarti negara telah kalah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan hukum bagi kepentingan khalayak publik, masyarakat luas secara terstruktur dan berkelanjutan. Dampaknya, upaya pelestarian dan pengembangan nilai adiluhung kebudayaan bangsa sebagai penguat karakter dan jati diri bangsa semakin kehilangan ruh dan taksunya.

 Dalam konteks ini, akal sehat telah dikalahkan oleh kekuasaan, wewenang, dan rasa nyaman dari kelompok internal yang selama ini selalu berlindung dalam ekologi birokrasi desa pakraman untuk memenuhi nafsu finansial dari kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu. Implikasinya, konstruksi mahadasyat dari kreativitas seni budaya untuk pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa yang berbasis kearifan lokal khas kabupaten/kota sebagai daya saing global kepariwisataan dunia secara perlahan dan pasti akan menjadi semakin terpuruk dan mengalami degradasi moral yang sangat memprihatinkan.

 Masalahnya, ke mana para elite penguasa pemangku kebijakan selama ini, sehingga tekanan keindahan perilaku dari egoisme sektoral dari kelompok internal ini semakin kuat mengkooptasi konstruksi pelaksanaan PKB secara bertahun-tahun. Jika hal ini dibiarkan secara terus menerus merupakan tamparan sangat keras bagi kita semua untuk melakukan introspeksi diri dan evaluasi kinerja demi perbaikan pelayanan publik yang prima dan beradab serta berbudaya secara lebih konstruktif. Karena tanpa perubahan tak akan ada pembaruan, dan tak akan ada kemajuan yang lebih baik dan menyejahterakan bagi kepentingan khalayak publik, terutama kalangan seniman.

 Ingatlah bahwa upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya berbasis kearifan lokal khas Bali dalam ajang PKB merupakan pilar utama dari kehidupan kebudayaan bangsa dalam peradaban kepariwisataan dunia. Jadi, dengan begitu adalah tanggungjawab kita bersama untuk menyelamatkan ajang PKB dari keindahan perilaku egoisme sektoral kelompok internal desa pakraman melalui praktik premanisme yang terstruktur secara bertahun-tahun. Demi penguatan ruh dan taksu dari keagungan nilai adiluhung kebudayaan bangsa yang beradab dan bermartabat secara mendunia. WB-MB