Masih segar dalam ingatan kita bersama, akibat pandemi Covid – 19 perekonomian Bali sempat “luluh lantak”, industri pariwisata “mati suri”, pertumbuhan ekonomi Bali minus 9,3 persen tahun 2020 dan minus 2,5 persen tahun 2021. Perekonomian Bali sebelum pandemi, umumnya bergerak berdekatan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional pada putaran 5 persen. Dampak ekonomi dari pandemi bagi UMKM Bali dashyat, mereka banyak menjual asetnya untuk membayar hutang dan bisa bertahan. Pasca penghentian restrukturisasi kredit, mereka “jungkir balik” untuk melunasi hutang, diperlukan waktu sekitar 5 tahun bagi mereka untuk pulih dari derita akibat pandemi. Penguasa tidak peduli, mereka “asyik masyuk” dengan dunianya sendiri, merebut dan mempertahankan kekuasaan, nyaris mati rasa dengan derita UMKM.

Sebuah ironi dan kemudian tragedi, dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) untuk penyelamatan UMKM tahun 2020 sebesar Rp.1 5 T, dipergunakan oleh Pemda Bali untuk pembebasan dan pengurugan tanah bagi PKB (Pusat Kebudayaan Bali) di Klungkung yang tidak jelas kelayakan ekonomi finansial nya dan juga kemanfaatannya buat masyarakat lokal.
Pasca pandemi. sudah diperkirakan akan terjadi “balas dendam” wisatawan karena lama dilarang bepergian, untuk “menggerudug” Bali sebagai DTW dunia, tetapi otoritas pengambil kebijakan tidak mengantisipasinya. Akibatnya muncul fenomena yang menjadi mengejutkan: kemacetan lalu lintas akut merata, sampah berserakan, perilaku wisatawan yang “nyleneh”, sampai ditemukannya ladang ganja di Canggu, “pabrik” narkoba di Payangan yang dioperasikan wisatawan.

“Wake up call”, peringatan dalam pengelolaan pariwisata Bali.
“Sense of Crisis” dalam pengelolaan pariwisata Bali menjadi mendesak dilakukan, menyimak curve belajar industri pariwisata Bali dalam 50 tahun perjalanannya. Krisis ekonomi akibat: pandemi, bom Bali Satu dan bom Bali Dua, flu burung, akibat perang Teluk. “Boom” pariwisata, setelah pembukaan Bandara Ngurah Rai akhir tahun 1960’an, berbarengan dengan pembukaan Grand Bali Beach Sanur, investasi besar-besaran industri pariwisata di Sanur, Nusa Dua, Kuta, yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi Bali dalam dasa warsa tahun 1980’an rata-rata 1 persen di atas pertumbuhan ekonomi nasional pada pusaran 6 persen.

“Sense of Crisis” dari curve belajar panjang dalam industri pariwisata di atas, diharapkan melahirkan perspektif baru dalam pengelolaan pariwisata Bali ke depan yang bercirikan:

Pertama, “mind set” yang berasal dari bawah sadar yang berupa: wisatawan akan selalu datang ke Bali, walaupun pariwisatanya dikelola asal-asalan, harus segera dikoreksi. Karena telah lahir paradigma baru pariwisata pasca pandemi, dan ketatnya persaingan dengan negara tetangga: Singapura, Malaysia, Thailand dan juga Vietnam.

Kedua, kemampuan lobi dengan pemerintah pusat mesti diperbaiki, mengambil “succses story” di masa lalu, Kementerian Pariwisata dan bahkan Presiden Soeharto punya kepedulian tinggi terhadap industri pariwisata Bali, yang tergambarkan dalam politik anggaran pemerintah pusat terhadap pembangunan Bali.

Ketiga, paradigma pembangunan telah banyak berubah, dari mengejar pertumbuhan ekonomi ke tegaknya etika lingkungan -environmental ethic development-, sebagai sebuah keniscayaan dalam krisis iklim yang begitu nyata. Akibatnya, pengembangan pariwisata yang ramah lingkungan, bersahabat dengan alam menjadi kebutuhan yang mendesak.

Keempat,  Fenomena anti pariwisata dari masyarakat lokal perlu diantisipasi, melalui pariwisata: perdesaan, kerakyatan yang ramah alam. Pemberian izin proyek wisata skala besar, tidak ramah lingkungan, tidak “tune in” dengan rasa keadilan masyarakat semestinya dikaji ulang.

Kelima,  RTRW Bali 2023 – 2043, yang punya kecenderungan liberal kapitalistik, memungkinkan liberalisasi investasi, semestinya dikoreksi, untuk: pembatasan konversi lahan pertanian dalam rangka penyelamatan dan pelestarian Subak, dan memungkinkan masyarakat punya waktu “mepineh” dalam merespons perubahan.

Keenam,  dalam masyarakat dengan tradisi paternalistik yang orientasinya vertikal, pemimpin adalah panutan dan pemberi teladan, para pemimpin Bali ke depan semestinya menyadari arti penting Dharma kepemimpinan tsb.

Tantangan bagi masyarakat pemilih, untuk lebih cerdas dalam melakukan pilihan politik dalam Pilkada Serentak 27 November 2024 mendatang, yang bisa memberikan harapan baru bagi Bali dan masa depannya.

I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004.