Gedung MK

Denpasar, (Metrobali.com)

Saat ini telah terjadi krisis konstitusi, dalam prilaku politik yang punya kecendrungan menghalalkan semua cara, dan bawah sadar para politisi yang takut kehilangan jabatan dan kaum oposisi yang tidak dapat meraih hak istimewa (privelige) kekuasaan.

Sebelumnya diberitakan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 4 tahun menjadi 5 tahun dianggap tidak masuk akal dan tak memiliki pertimbangan konstitusional.

Hal itu disampaikan mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), I Dewa Gede Palguna, menanggapi keputusan MK yang mengabulkan uji materi atau judicial review (JR) yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.

“Pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk kali ini tidak masuk akal menurut saya,” kata Dewa Palguna disela-sela acara diskusi di Denpasar, Bali, Jumat (26/5/2023), seperti dikutip dari Kompas TV. “Tidak ada ratio decidendi dari putusan itu. Menurut saya tidak ada pertimbangan konstitusional itu,” sambung Dewa Palguna.

Hal senada juga disampaikan pengamat kebijakan publik Jro Gde Sudibya, menanggapi keputusan MK tersebut sangat inkonstitusional.

“MK semestinya tidak bisa mengaitkan jabatan ketua KPK dalam UU KPK berkaitan dengan konstitusi. Politisasi dalam keputusan MK sudah kebablasan. Dan sangat memprihatinkan,” kata Jro Gde Sudibya, Sabtu 27 Mei 2023.

Menurutnya, keputusan kontroversial MK ini patut untuk diberikan catatan. Politisasi hukum yang kebablasan dengan meminjam “tangan” MK secara tidak bertanggung-jawab. Kasusnya ada kemiripan dengan penggantian hakim MK Aswanto yang diusulkan DPR dan disetujui Presiden.

Dikatakan, kasus-kasus ini sebetulnya menggambarkan terjadinya krisis konstitusi. Para pakar, terutama pakar hukum umumnya berpendapat, UU pada prinsipnya adalah kesepakatan politik, tetapi setelah menjadi UU tidak bisa ditafsirkan secara politik. Harus ditafsirkan secara aturan hukum yang ketat, berdasarkan fakta-fakta hukum.

“Keputusan MK ini sangat kebablasan. Intervensi terhadap MK, yang kemudian melahirkan “politisasi” keputusan, merupakan kemunduran demokrasi, kualitas demokrasi yang merosot.
Tanpa lembaga peradilan yang merdeka, sangat sulit tercipta cheks and balances, yang merupakan persyaratan penting dari proses demokrasi berkualitas,” Jro Gde Sudibya, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004, ekonom, pengamat ekonomi politik. (Adi Putra)