Denpasar, (Metrobali.com)-

Pernyataan kontroversial dari Menkeu merespons protes publik atas penolakan kenaikan PPN 12 persen mulai awal tahun 2025.

“Pernyataan konyol yang agaknya menggambarkan sikap frustrasi yang bersangkutan sebagai pejabat yang paling bertanggung-jawab terhadap perumusan kebijakan makro fiskal dan sebagai Kasir Negara,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik, Senin 25 November 2024.

Menurutnya, sikap frustrasi, diperkirakan sebagai akibat dari Defisit anggaran tahun depan Rp.600 T, 17 persen dari APBN tahun 2025, angka defisit yang besar,yang semakin sulit dikendalikan, dalam kabinet gemuk, yang boros dan diperkirakan efektivitasnya rendah.

Sebagai ekonom mumpuni, lanjut I Gde Sudibya, Sri Mulyani paham, kenaikan PPN 12 persen, punya risiko menimbulkan inflasi spiral, yang akan menggerus pertumbuhan ekonomi. Potensi krisis ekonomi, yang akan sulit dikendalikan oleh kabinet 109 menteri, yang kompetensi dan rekam jejaknya diragukan publik.

Dikatakan, penolakan keras publik, terhadap kenaikan PPN 12 persen yang dinilai publik tidak adil ini, akan membuka “kotak pandora” yang lebih besar yakni pajak yang dibayar rakyat dijadikan “bancakan”korupsi, berbarengan dengan pelayanan birokrasi yang dinilai publik semakin memburuk. Terang benderang, bentuk ketidak-adalah dalam politik perpajakan.

“Di mana, masyarakat menengah bawah ditekan dengan PPN yang menaik, PPH Badan, bagi kelompok menengah atas dengan tarif 22 persen (yang sudah rendah), direncanakan tahun depan diturunkan lagi menjadi 20 persen,” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, akibat dari ketidakadilan tersebut, pajak kehilangan fungsi distribusi, tetapi melahirkan akumulasi, yang membuat ketimpangan pendapatan dan ekonomi yang sudah parah semakin akut, dan ironinya dilakukan oleh negara. (Sutiawan).