Foto :  Seminar Permasalahan dan Penanganan Transportasi Online di Provinsi Bali yang diselenggarakan di Hotel Aston Denpasar, Selasa 10 April 2018. (Bobby Andalan/Metro Bali)

Denpasar (Metrobali.com)-

Pengamat hukum dari Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Nurhasan Ismail menilai tak ada masalah dengan peraturan taksi online yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan yakni Permenhub Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek.

Menurut Ismail, tak ada persoalan mendasar yang membedakan antara taksi konvensional dengan taksi online. “Yang jadi persoalan, seoalah-olah taksi online itu jenis taksi tersendiri. Padahal, itu kan hanya sekadar bagaimana orang bertransaksi melalui aplikasi kan, melalui teknologi. Sama seperti kita ingin membeli barang secara online itu. Jadi kalau dari sisi hukumnya sudah tidak ada persoalan sebenarnya karena sudah terakomodasi semua,” kata Ismail Road Show Seminar Permasalahan dan Penanganan Transportasi Online di Provinsi Bali yang diselenggarakan di Hotel Aston Denpasar, Selasa 10 April 2018.

Hanya saja, ia menyarankan agar pemerintah menjabarkan peraturan tersebut dalam hal operasional, khususnya bertransaksi secara online dalam memesan taksi. Dari pandangannya, hal itu melibatkan banyak sektor. “Pertama itu ketenagakerjaan,” ujarnya. Ismail menilai harus ada kejelasan hubungan antara provider dengan driver. Apakah hubungan kemitraan mereka dalam bentuk ikatan kerja atau hubungan bagi hasil.

“Itu yang perlu dipertegas dan itu pasti melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan. Kedua soal keselamatan, baik keselamatan pengemudinya sendiri maupun keselamatan penumpang, termasuk pengguna jalan yang lain,” papar dia. Semua angkutan umum, Ismail melanjutkan, harus memenuhi syarat teknis dan syarat laik jalan. “Itu yang dituangkan dalam uji KIR itu. Harus uji KIR. Kenapa harus uji KIR, karena itu jaminan dari pemerintah agar warga masyarakat itu terlindungi oleh angkutan umum,” jelasnya.

Di sisi lain, mesti dilakukan penindakan tegas terhadap driver yang masih memainkan handphone saat berkendara. Sebab, hal itu juga berkaitan dengan konsentrasi berkendara dalam hal keselamatan berkendara. “Selanjutnya penggunaan IT karena ada transaksi elekronik. Orang memesan taksi berbasis teknologi. Ini ranahnya Kominfo,” tutur dia. Hal lain yang menjadi fokus perhatiannya adalah asuransi. Semisal terjadi kecelakaan berkendara, apakah asuransi dalam hal ini Jasa Raharja mau menanggungnya.

“Jadi ada banyak aspek di situ, tidak hanya sekadar untuk online-nya saja, tidak hanya ranah perhubungan saja. Ada kementerian lain yang terlibat. Ini tidak bisa hanya peraturan Kementerian saja. Lebih baik ditarik ke arah Peraturan Presiden (Perpres), karena ada kepentingan lintas sektoral,” katanya.

“Dengan Perpres ini semua lembaga terkait bisa terikat. Kalau hanya diatur Menteri Perhubungan, tentu Menteri Komunikasi dan Informasi tidak akan terikat dengan aturan itu. Khusus unutk taksi atau angkutan online ini harus diaur oleh Perpres,” tambah Ismail.

Di sisi lain, Kepala Bagian Operasional Direktorat Lalu Lintas Polda Bali, Ajun Komisaris Besar I Made Rustawan menegaskan jika angkutan khusus, dalam hal ini taksi online juga harus memerhatikan peraturan yang mengikatnya laiknya peraturan yang mengatur angkutan umum. “Karena perbedaan angkutan khusus dan umum ini hanya pada cara pemesanannya saja,” bebernya.

Peraturan yang dikeluarkan Menteri Perhubungan, Rustawan melanjutkan, sudah tepat dan mengakomodasi persoalan yang dihadapi dengan munculnya taksi online. Ia sependapat dengan Prof Nushasan Ismail, di mana yang diperlukan saat ini adalah peraturan pelaksananya yang masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Sementara Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Provinsi Bali, IGA Sudarsana memaparkan segala proses perizinan operasional taksi khusus sudah diberlakukan dan berjalan di Bali. “Intinya di Bali jangan ribut, karena proses izin sudah kita lakukan di Bali. 3.500-4.000 targetnya tahun ini lakukan. Jadi harus pasang stiker. Yang mengajukan izin sebanyak 7.000 unit kendaraan,” ulasnya.

Jika dalam waktu enam bulan setelah pengajuan tidak memenuhi kuota, maka pemberian tambahan pada pengajuan selanjutnya hanya diberikan seperempat dari jumlah pengajuan awal. “Awalnya itu 7.000 dan sudah separuhnya turun. Masih banyak kuota di Bali. Kuotanya 7.5000 unit,” imbuhnya.
Pewarta : Bobby Andalan
Editor : Whraspati Radha