solar bersubsidi habis

Pemerintah tampaknya perlu mencarikan solusi pascapembatasan penjualan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis solar agar masyarakat tidak cemas, di samping memberikan informasi yang cukup mengenai hal itu kepada publik.

Pasalnya, peraturan pembatasan penjualan solar bersubsidi yang dikeluarkan oleh Pemerintah beberapa waktu lalu mendatangkan kekhawatiran tersendiri bagi sejumlah pelaku ekonomi.

Bukan hanya pelaku ekonomi dari industri besar yang masih banyak menggunakan solar bersubsidi, melainkan juga industri kecil yang terdapat di kampung-kampung.

Oleh karena itu, anggota Komisi VII (Bidang Energi) DPR RI Dr. Dewi Aryani, M.Si. memandang perlu Pemerintah memberikan alternatif langkah-langkah solusi bagi pengguna kendaraan terkait dengan pembatasan waktu penyaluran BBM bersubsidi jenis solar.

Jika mengeluarkan peraturan, hendaknya Pemerintah juga memberikan alternatif langkah-langkah solusi bagi pengguna BBM tersebut, kata Dr. Dewi Aryani, M.Si. ketika menanggapi Surat Edaran Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Nomor 937/07/KaBPH/2014.

Surat Edaran Kepala BPH Migas tertanggal 24 Juli 2014 itu membatasi waktu penyaluran BBM bersubsidi jenis solar mulai pukul 18.00 sampai dengan 06.00 per 4 Agustus 2014, khusus di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali.

Tidak pelak lagi, sejumlah nelayan dari kampung nelayan Tambak Lorok, misalnya, mulai was-was dengan adanya peraturan baru tersebut, bahkan tidak sedikit dari mereka yang terpaksa membeli dua hingga tiga kali lipat solar bersubsidi dibandingkan hari biasa untuk mengantisipasi kemungkinan kelangkaan pasokan.

Suharto, nelayan asal Kendal, mengaku dirinya sempat cemas saat awal kemunculan peraturan tersebut. Ayah dua anak ini mengaku takut tidak bisa melaut karena kesulitan memperoleh bahan bakar.

“Saya sempat khawatir kalau solar subsidi jadi langka karena mesin ini tidak bisa menggunakan bahan bakar lain,” ujarnya.

Diakuinya sejauh ini solar masih mudah diperoleh dengan harga yang juga tidak mengalami kenaikan. Meski demikian, dirinya khawatir jika suatu saat harga akan naik dan berdampak berkurangnya jam berlayar nelayan.

Selama ini konsumsi solar per hari untuk satu kapal mencapai 20 liter dengan jam berlayar mulai dari 19.00 sampai dengan 04.00 WIB. Dalam kurun waktu tersebut, ketika musim ikan, setiap kapal bisa memperoleh lima drum dengan masing-masing drum diisi oleh 70 kilogram ikan.

Dari perolehan tersebut, Suharto mengatakan bahwa dirinya bisa menyekolahkan kedua anaknya hingga tamat SMA.

Dia mengaku tidak hanya bisa menyekolahkan anaknya, tetapi juga sudah bisa memiliki rumah sendiri meskipun sederhana.

“Penghasilan nelayan itu tidak seberapa jadi kalau ada peraturan yang sekiranya memberatkan nelayan pasti kehidupan kami akan makin sulit,” katanya tanpa menyebutkan berapa penghasilan dalam satu hari.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Forum Kelompok Usaha Bersama Nelayan Kota Semarang Suwondo. Saat ini, kata dia, dampak pembatasan penjualan solar bersubsidi belum terasa. Namun, jika pembatasan tersebut diterapkan untuk semua SPBU, akan sangat merugikan pelaku usaha kecil.

Menurut dia, dari kelompok nelayan saja ada ribuan orang yang akan dirugikan jika peraturan tersebut terus berlangsung dan diterapkan di semua SPBU.

Sebagai gambaran saat ini jumlah nelayan yang menjadi anggota Forum KUB Nelayan Kota Semarang mencapai 2.000 nelayan, mulai dari kawasan Mangkang, Trimulyo, hingga Genuk. Khusus Kampung Tambak Lorok sendiri, jumlah nelayan mencapai 1.000 orang.

Berimbas pada Transportasi Sektor lain yang berpotensi terpengaruh pembatasan penjualan solar bersubsidi adalah transportasi umum. Pasalnya, hampir semua transportasi umum menggunakan jenis BBM tersebut.

Dewan Penasihat Organisasi Gabungan Angkutan Darat (Organda) Kota Semarang Dedi Sudiardi mengaku saat ini dampak dari penerapan tersebut memang belum terasa, tetapi dikhawatirkan suatu saat akan berpengaruh terhadap kenaikan tarif angkutan umum dan berakibat pada kerugian bagi masyarakat kecil.

Apalagi, lanjut dia, sistem pengisian bahan bakar untuk angkutan umum dalam kota tidak dilakukan secara penuh tetapi bertahap, yaitu angkutan umum akan lebih dahulu beroperasi satu putaran trayek baru kemudian mengisi untuk satu lagi putaran trayek.

“Kami mengisi sedikit demi sedikit karena pendapatan kan minim, padahal sebagian angkutan umum beroperasi selama 24 jam. Bayangkan saja, kalau penjualan solar bersubsidi dibatasi jamnya, pasti akan sangat menyulitkan kami,” katanya.

Menurut dia, jika peraturan tersebut diberlakukan di hampir semua SPBU, tentu akan lebih memberatkan operator transportasi untuk memperoleh bahan bakar.

Menyinggung soal tarif, dia mengatakan, “Yang menjadi masalah adalah besaran tarif hanya bisa ditentukan oleh Pemerintah. Padahal, jika solar subsidi mulai sulit diperoleh, pemilik angkutan umum akan beralih pada solar nonsubsidi dengan konsekuensi terjadi kenaikan harga.” Tidak hanya tarif angkutan penumpang saja yang terpaksa naik, tetapi juga ada potensi kenaikan harga karena angkutan barang juga mengalami kenaikan biaya operasional.

“Untuk penumpang angkutan umum ini kebanyakan adalah pekerja pabrik dan anak sekolah, kan kasihan mereka kalau tarif angkutan naik, padahal penghasilan mereka tidak naik. Belum lagi, harga barang-barang juga akan merangkak naik,” katanya.

Pihaknya menilai angkutan umum harus tetap diberikan kebijakan khusus mengenai pembelian solar bersubsidi melalui sistem tertentu dengan melibatkan sejumlah pihak.

Misalnya, Pertamina bekerja sama dengan Dinas Perhubungan dan Perbankan menerbitkan kartu anggota untuk semua angkutan umum dengan tujuan agar solar bersubsidi bisa dibeli oleh angkutan umum yang benar-benar tercatat oleh Dinas Perhubungan.

“Dengan demikian, konsumsi solar bersubsidi akan lebih tepat sasaran,” katanya. AN-MB